anak bangsa berbagi cerita

Blog ini adalah blog bagi kita yang ingin berbagi cerita....khusus blog ini tidak menerima cerita yang bernuansa pornografi...ini blog yg khusus menceritakan kehidupan kita sehari-hari...

Sabtu, 08 Maret 2008

Cerita Kita tentang krisis Pangan : KRISIS PANGAN DAN TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH

KRISIS PANGAN DAN TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH
Oleh : Ferry Widodo☼☻☺
Memasuki tahun 2008 keadaan situasi masyarakat semakin lama semakin terhimpit. Isu krisis pangan dunia (Global Food Crisis) menjadi cukup hangat beberapa bulan terakhir. Hal ini mengingat bahwa FAO sebagai organisasi pangan dunia pernah merilis dan menyebutkan, jumlah orang yang lapar di dunia, termasuk Indonesia, nyaris tidak bergeser jauh dari angka 10 tahun lalu. Menurut laporan Task Force on Hunger (2006), lebih separuh dari penduduk yang mengalami kelaparan (food entitlemens) dan kurang gizi berasal dari keluarga petani miskin yang terputus aksesnya atas sumber-sumber pangan, baik akibat bencana alam atau pun manajemen ketahanan dan distribusi atas komoditi/produk pangan yang kacau. Tak hanya Indonesia, ancaman krisis pangan juga mengintai negeri lainnya. Masih menurut versi FAO, kebutuhan pangan dunia pada 2007-2008 diperkirakan meningkat 2.103 juta ton atau naik hampir 2 persen dibandingkan periode sebelumnya. Sementara stok pangan dunia yang diperhitungkan hingga akhir musim tanam 2008 justru akan turun sekitar 420 juta ton atau nyaris 2 persen dari stok sebelumnya. FAO memprediksi bahwa perdagangan sereal dunia mencapai 252 juta ton atau turun 1 persen dibandingkan periode 2006-2007.1 Harga internasional komoditas ini akan tetap tinggi dan diprediksi terus meningkat karena suplai yang ketat. Hal ini belum lagi ditambah dengan data yang dikeluarkan seluruhnya ada 37 negara yang akan terkena dampak krisis pangan, dengan jumlah terbesar di Afrika (20 negara), disusul Asia (9), Amerika Latin (6) dan Eropa Timur (2) dan akan di kwatirkan bahwa krisis pangan di beberapa negara telah dan akan memicu krisis sosial diberbagai level masyarakat.2


Sebelum kita mengulas lebih jauh dampak krisis pangan, ada baiknya kita telusuri dahulu penyebab krisis pangan yang melanda dunia saat ini. Kenaikan harga minyak dunia selalu menjadi determinan atas krisis pangan yang melanda dunia saat ini, biang keladinya adalah lonjakan tajam harga minyak bumi. Harga minyak yang menggila, mendekati angka US$105 per barrel, mendorong kenaikan harga sarana produksi dan ongkos angkut. Hal ini ditambah dengan produksi minyak bumi dan gas tak bisa mengikuti kenaikan permintaan, dan akhirnya harga energi juga naik tajam. Tragisnya, negara-negara maju memutuskan untuk mengalihkan pemakaian energi berbahan bakar fosil ke bio-fuel. Minyak sawit dipakai untuk bio diesel. Jagung, tebu dan singkong digunakan untuk bio ethanol. Hal ini menyebabkan produksi beras sebagai komoditi utama pangan akan semakin sempit ruang produksinya. Pengalihan atas produksi ini menjadi dorongan utama kenaikan beberapa kebutuhan pokok terutama beras. Proses pengalihan produksi ini sebenarnya mulai timbul pada periode tahun 2005 yang lalu pada saat beberapa Negara produksi pangan yang berbasis biji-bijian seperti AS, China, Brasil Australia dan Negara-negara lainnya mengubah struktur konsumen komoditas pangan secara besar-besaran. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi atas kenaikan harga minyak dunia dari hasil pertambangan minyak yang berbasis fosil.3 Dan lagi-lagi perubahan Negara-negara didunia sangat lambat diantisipasi oleh negeri ini. Sebenarnya reaksi pemerintah atas isu krisis pangan dunia ini baru muncul pada Juni 2007 ketika OECD (Organisasi Kerja Sama Ekonomi Pembangunan) dan FAO merilis dan mengembuskan isu akan adanya kenaikan harga pangan dunia.


Sekarang sekitar 6,3 miliar penduduk dunia akan dihadapkan pada tantangan global yaitu krisis pangan, tetapi, sebenarnya isu krisis pangan telah mampu dibaca indikasinya oleh beberapa Negara-negara didunia dan indikasi atas krisis pangan dunia inilah yang kemudian menjadi dorongan beberapa Negara untuk meningkatkan cadangan pangan mereka terutama beras. Coba kita bandingkan dengan cadangan beras pemerintah China yang mencapai 34 juta ton, India (7 juta ton), Thailand (2 juta ton), Korea Selatan (1,1 juta ton), Vietnam (1 juta ton), Jepang (1 juta ton), dan Filipina (0,75 ton). Sedangkan pemerintah saat ini hanya memiliki 350.000 ton stok beras yang terdapat digudang-gudang Bulog. Cadangan itu jelas terlalu kecil dan sangat sulit dijadikan jaminan bagi stabilisasi harga beras. Walaupun pemerintah telah melakukan intervensi pasar guna menstabilkan kenaikan harga beras dan kebutuhan pokok lainnya, toh kenaikan itu tetap tidak mampu ditanggulangi oleh pemerintah. Pertanyaan kemudian bahwa kebijakan pemerintah apa yang dapat menjawab krisis pangan yang akan dan sudah melanda negeri ini ?????..............


Dampak Krisis Pangan Di Negeri Ini
” Pada rakyat kami minta pengertian. Kami bertanggung jawab mencarikan solusi. Kami secara serius mengelola permasalahan harga pangan akibat gejolak ekonomi dunia. Kami yakin ada solusi stabilkan harga pangan tersebut. “ SBY menegaskan seusai memimpin rapat kabinet terbatas di Kantor Departemen Keuangan, Jakarta (Detik, 21.02.08). Kutipan pidato Presiden ini kembali menunjukan bahwa pemerintah belum siap dan bahkan tidak siap dalam mengantisipasi krisis pangan yang melanda negeri ini, terlepas dari rasa pengertian yang kita berikan kepada pemerintah, dampak sosial yang sudah sangat terasa atas krisis pangan ini adalah kenaikannya harga-harga sembako dibeberapa pasar tradisional di beberapa daerah di Indonesia. Kenaikan ini sudah barang tentu sangat memukul masyarakat kecil, misalnya saja kenaikan harga minyak goreng yang mencapai Rp 15500/kilo-yang normalnya sekitar Rp 9000/kilo-di Tegal, merupakan gambaran kecil dari kenaikan beruntun beberapa kebutuhan pokok akhir-akhir ini. Tercatat dibulan ini saja setidaknya tiga jenis pangan mengalami kenaikan secara beruntun, mulai dari beras, kedele, sampai minyak goreng. Bulan ini dilalui bagai mimpi buruk oleh ibu rumah tangga yang kantongnya semakin kempis. Mimpi buruk terutama dialami oleh rakyat jelata yang paling miskin.


Fenomena gizi buruk dan busung lapar mungkin yang paling mengkwatirkan yang pasti akan terjadi di negeri ini. Data menunjukan bahwa sepanjang Januari-Desember 2007 tercatat ada 1234 kasus gizi buruk dan busung lapar yang terjadi dibeberapa daerah di Indonesia.


Sementara, menurut data Badan Pusat Statistik pada tahun 2006, bahwa lebih dari sepertiga populasi anak-anak yang berusia balita mengalami kekurangan makan, gizi, dan nutrisi akut. Situasi ini amat memprihatinkan mengingat usia balita adalah masa penting bagi proses tumbuh-kembang anak. Bagi balita, makanan yang bergizi adalah kebutuhan mutlak. Jika tidak, ke depan negeri ini akan menghadapi problem the lost generation. Dan dari indeks harapan hidup manusia, angka risiko kematian paling tinggi di Indonesia ada pada kelompok usia balita. Dari 1000 kelahiran hidup, 35 bayi mati tiap harinya. Sementara angka kematian ibu yang melahirkan hingga kini juga masih tinggi, yakni sekitar 307 orang untuk tiap 100.000 kelahiran hidup (BPS, 2002). Berdasarkan kajian Institute for Ecosoc Rights (2006), masalah kurang gizi, gizi buruk, dan busung lapar yang mengemuka di Indonesia sejak pertengahan 2004 lalu, jumlah angka resminya sebenarnya jauh di bawah fakta sesungguhnya. Meski masalah gizi buruk dan busung lapar sudah sedemikian struktural dan laten sifatnya, di mana 72 persen kabupaten/kota di Indonesia tercatat mengidap kasus gizi buruk tiap tahunnya, namun pola penanganannya hingga kini masih bersifat darurat, karitatif, dan sporadis.5


Menuntut Tanggung Jawab Pemerintah
Kenaikan harga kedelai pada waktu awal Januari 2008 yang menjadi Rp7.500 per kg, dengan cepat direspon oleh pemerintah. Hingga tepatnya pada tanggal 15 Januari lalu Presiden SBY langsung menggelar Sidang Kabinet Terbatas mencari solusi atas krisis kedelai. Dalam Rakor (Rapat Kordinasi) terbatas yang dipimpin langsung oleh Presiden SBY di gedung Departemen Pertanian, presiden menyatakan tiga isu utama sekaligus sebagai kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah. Tiga isu yang penting dalam menanggulangi krisis kedelai, yaitu ketahanan pangan, stabilitas harga pangan dan kesejahteraan petani. Dalam hal ini isu utama yang di keluarkan presiden, mungkin oleh sebagian kalangan masyarakat dapat dikatakan baik dan mempunyai visi ntuk mensejahterakan petani, tetapi bila kita kaji lebih mendalam kebijakan yang diambil oleh pemerintah merupakan kamuflase pemerintah dalam menutupi situasi yang sebenarnya terjadi.


Isu ketahanan pangan yang kemudian dihembuskan oleh pemerintah merupakan suatu hal sedikit mustahil apabila pemerintah hanya mengandalkan tingkat produksi pertanian dalam negeri tanpa melakukan proteksi atas produksi pertanian. Artinya kalau kita selama ini masih mengandalkan produk pangan impor maka hal ini mungkin cukup sulit untuk dilakukan dalam lima sampai sepuluh tahun mendatang, mengingat bahwa isu krisis pangan dunia ini diperkirakan akan tetap berlangsung selama 5-10 tahun kedepan dan akhirnya setiap Negara yang yang memiliki kelebihan pasokan pangan saat ini pun, akan sangat memprioritaskan pemenuhan kebutuhan domestiknya dalam jangka dekat serta menambah pasokan pangan digudang-gudang mereka untuk jangka waktu beberapa tahun kedepan. Disinilah tugas pemerintah dalam memberikan proteksi bagi produksi pertanian. Asumsi proteksi bukan hanya memberikan kebijakan yang ketat bagi semua produk impor pertanian tetapi juga memberikan jaminan sosial bagi petani dalam berproduksi pertanian. Kedua adalah pemerintah berani dalam melakukan Reforma Agraria, sebagai fondasi pertanian dalam penyediaan pangan juga sebagai penggerak utama pembangunan khususnya perekonomian perdesaan yang mampu mengentaskan kemiskinan di wilayah pedesaan.6.


Yang pasti harus pemerintah lakukan adalah, mengkaji/mengoreksi ulang kebijakan-kebijakan pemerintah dalam perundingan bilateral dan multilateral yang selama ini lebih menguntungkan kaum kapitalis dan negara-negara yang secara politik dan ekonomi sangat kuat. Selama ini, keberdaulatan kita atas pangan, amat diragukan. Misalnya, untuk menentukan bibit yang dipakai saja pun pemerintah harus tunduk pada kebijakan negara lain. Gambaran paling nyata bahwa, hingga saat ini, untuk memenuhi kebutuhan akan kacang kedelai, kita harus mengimport sebesar 70 persen dari total kebutuhan. Dengan demikian, kebutuhan kacang kedelai kita mau tidak mau harus bergantung pada negara lain.7


Melihat perkembangan situasi sosial yang semakin akut ini bahwa sudah saatnya kita menuntut pertanggung jawaban dari pemerintah, hal ini mengingat sejak empat tahun terakhir, bahwa peran pemerintah dalam menangani situasi rawan pangan nasional tak kunjung teratasi oleh pemerintah.8 Inilah situasi yang sangat nyata terjadi di tanah air dan tampaknya belum dimaknai oleh pemerintah sebagai urusan serius bangsa. Secara normatif, hidup sejahtera dan bebas dari kemiskinan adalah impian setiap warga negara. Namun, bagi rakyat Indonesia, agaknya semua itu masih sebuah mimpi yang sulit terwujud.


☼☻☺ Sekjend FPPI Pimpinan Kota Yogyakarta
1 Menyoal Hak Gizi & Pangan Rakyat oleh Launa; http://www.waspada.co.id
2 Pembacaan Situasi Nasional FPPI Pimpinan Kota Yogyakarta Oleh Ferry Widodo Tertanggal 26 Januari 2007.
3 Kompas Edisi 30 januari 2008.
4 Laporan Akhir Tahun 2007 IHCS ; “Negara Lepas Tangan: Pelimpahan Kewajiban Negara Atas Pemenuhan Hak- hak Dasar Rakyat kepada Korporasi/Modal”, untuk lebih lengkapnya lihat di laporan Akhir Tahun IHCS.
5 Launa; loc. cit.
6 Ibid.
7Gejala Krisis PanganTajuk Rencana http:// Republika.on-line/
8 op.cit

Selasa, 26 Februari 2008

Cerita Kita Tentang Pembacaan Situasi Nasional

Pembacaan Sitnas Tgl 26 Januari 2008
Walaupun tidak sama, situasi sosial-ekonomi-politik tahun ini hampir mirip ditahun 1997, dimana saat itu negeri ini diterjang badai krisis multidimensi. Waktu itu, negeri ini tidak hanya dilanda krisis moneter dan finansial perbankan, tapi juga disusul dengan ambruknya sektor riil, PHK massal, kenaikan harga-harga barang dan juga musibah kelaparan yang merajalela di sejumlah wilayah di Indonesia. Namun akhir-akhir ini, indikasi menuju krisis seperti tahun 1997 mulai terlihat, kenaikan harga berbagai jenis pangan yang tak mampu direm oleh pemerintah, ini juga termasuk kenaikan harga tempe dan tahu yang merupakan komoditas utama yang menjadi makanan pokok mayoritas rakyat negeri yang berada dibawah garis kemiskinan. Harga bahan bangunan dan harga consumer goods (kebutuhan pokok) pelan-pelan mulai merangkak naik. Tetapi melihat munculnya semua problem kerakyataan yang mulai berkembang hari ini bukanlah sesuatu hal yang berjalan secara alamia, tetapi ini merupakan perkembangan arus modal global yang juga bergerak secara cepat serta lemahnya posisi sumber-sumber produksi masyarakat hari ini, baik di ruang pertanian, industrialisasi serta sektor finasial. Maka dari itu marilah kita bersama-sama baca perkembangan situasi tersebut agar kita tidak kemudian terjebak dengan narasi besar paradigma kapitalistik serta paradigma opurtunistik elit yang hari ini sedang berkuasa.
Maka dari itu mari kita Mulai...!!!

Pembacaan Situasi Global-Lokal-Nasional
Disituasi global saat ini bahwa perkembangan ekonomi dibeberapa negara didunia merupakan sesuatu hal yang perlu diperhatikan, hal ini mengingat bahwa kekuatan ekonomi negeri ini belumlah sebanding dengan kekuatan ekonomi negara-negara didunia. Di sektor finansial, kekuatan cadangan devisa kita yang jumlahnya sekitar USD55 miliar bila dibandingkan dengan negara-negara seperti China (USD1.500 miliar), India (USD275 miliar), Korea Selatan (USD265 miliar), Malaysia (USD101 miliar), dan Thailand (USD85 miliar)[1] belumlah cukup dalam mengatasi krisis pasar saham global saat ini.
Melihat besarnya angka-angka cadangan devisa dibeberapa negara di Asia bukan mustahil bahwa kesiapan beberapa negara menghadapi krisis di sektor finasial yang akan melanda dunia telah dipersiapkan sejak lama, tetapi yang kemudian menjadi pertanyaan adalah bagaimana dengan kesiapan negeri ini. Hal ini mengingat bahwa beberapa hari ini dengan semakin terpuruknya keadaan ekonomi finasial AS yang akan berimbas kepada pasar saham dinegara-negara Asia, Amerika dan Eropa sekali lagi mengingatkan kita terhadap indikasi awal krisis finansial tahun 1997 dengan melemahnya pasar saham internasional yang kemudian disusul dengan lemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar dan lemahnya cadangan devisa negeri ini yang kemudian berujung pada krisis multidimensi.
Hal ini belum lagi diperparahnya dengan semakin menguatnya isu krisis pangan di dunia internasional. Dari pejabat puncak di organisasi pangan dan pertanian PBB yang berkedudukan di Roma sudah bicara keras soal krisis pangan yang akan melanda dunia dan yang terutama akan menderita adalah negara-negara miskin. Indonesia bukanlah termasuk low income food deficit countries (LIFDCs/ negara-negara defisit makanan pendapatan rendah), namun oleh FAO (Organisasi Pangan Dunia), kita dimasukkan dalam daftar negara-negara krisis pangan yang perlu bantuan luar. Seluruhnya ada 37 negara, dengan jumlah terbesar di Afrika (20 negara), disusul Asia (9), Amerika Latin (6) dan Eropa Timur (2) dan akan di kwatirkan bahwa krisis pangan di beberapa negara telah dan akan memicu krisis sosial diberbagai level masyarakat[2].
Melihat hal ini, Indonesia jelas bukan negara yang tak berdaya dalam menghadapi kerawanan pangan. Negeri ini punya kemampuan dalam memproduksi makanan pokok rakyatnya. Namun krisis pangan memang lebih disebabkan gabungan berbagai faktor, dan yang paling dirisaukan pada Indonesia adalah bencana alam-gempa bumi, musibah banjir, kekeringan dan yang lainnya-yang bergantian menguncang daerah-daerah. Karena itu dalam daftar Countries in Crisis Requiring External Assistance (krisis negara yang menuntut bantuan dari luar), Indonesia dikategorikan dalam negara dengan risiko severe localized food insecurity. Cuma, seperti yang telah jadi cerita klasik, parahnya kelaparan yang kerap menimpa daerah-daerah tersebut, adalah karena kelangkaan akses, buruknya prasarana untuk transportasi dan distribusi atau lambatnya tindakan menanggulangi bencana alam oleh pemerintah[3]. Namun kini krisis pangan telah menjadi isu dunia, yang akhirnya dampaknya juga dirasakan masyarakat di negara-negara maju. Kegawatannya sudah terasa mulai 2007 dan semakin menjadi-jadi pada tahun 2008 dan tahun-tahun berikutnya. Global food crisis (krisis pangan dunia) ini, seperti sudah sering dikemukakan, biang keladinya adalah lonjakan tajam harga minyak bumi. Harga minyak yang menggila, mendekati angka US$100 per barrel, mendorong kenaikan harga sarana produksi dan ongkos angkut. Hal ini ditambah dengan produksi minyak bumi dan gas tak bisa mengikuti kenaikan permintaan, dan akhirnya harga energi juga naik tajam. Tragisnya, negara-negara maju memutuskan untuk mengalihkan pemakaian energi berbahan bakar fosil ke bio-fuel. Minyak sawit dipakai untuk bio diesel. Jagung, tebu dan singkong digunakan untuk bio ethanol. Akibatnya pemenuhan kebutuhan energi harus berkompetisi dengan pemenuhan kebutuhan perut. Harga pangan menjadi sangat terkait dengan harga energi[4]. Yang kemudian harga kedelai dan komoditi pangan lainnya menjadi ikut-ikutan naik. Meningkatnya pemakaian CPO untuk bio diesel mengakibatkan permintaan minyak kedelai menjadi meningkat. Membaiknya harga jagung mengakibatkan lahan yang ditanami kedelai dan pangan lainnya menjadi lebih sedikit. Akibatnya terjadilah ekses permintaan yang membuat harga melambung. Kelak membaiknya harga kedelai, jagung dan tebu akan mengakibatkan tanaman padi semakin tersingkir. Dan akhirnya pasokan beras di pasar dunia akan semakin susah didapatkan, dalam hal ini mengingat bahwa beberapa negara pengekspor beras juga membaca dan mecoba mengantisipasi krisis pangan ini dengan menstop ekspor beras kepasaran dunia. Situasi ini sangat terlihat pada peningkatan permintaan beras dunia, yang juga disebabkan oleh musibah banjir yang menyebabkan gagal panen di China dan Vietnam.
Hal ini kemudian mendorong China mengimpor beras dari Jepang, sedangkan Vietnam tahun ini menutup keran ekspornya sampai batas waktu yang belum ditentukan. Kementerian Pertanian Vietnam pada September tahun 2007 memutuskan larangan ekspor beras tersebut untuk mengamankan kebutuhan pangan dalam negeri. Apalagi target ekspor Vietnam pada 2007 sebesar empat juta ton terlampaui[5].
Melihat semakin cepatnya perkembangan situasi global saat ini, kita kembali melirik kedalam situasi nasional saat ini. Yang pasti bahwa perkembangan situasi global membawa dampak besar kedalam situasi nasional saat ini. Indikasi terjadinya krisis seperti tahun 1997 kemudian menjadi sangat terlihat dengan lemahnya akses masyarakat dengan sumber-sumber kebutuhan pokoknya.
Dimulai dengan kenaikan harga BBM yang dimulai pada pertengahan oktober 2005 lalu ternyata terus beranjak naik menyusul besarnya permintaan industri serta imbas dari kenaikan harga minyak dunia. Di level masyarakat bawah, minyak tanah menjadi barang langka, hal ini merupakan kebijakan pemerintah yang memang dipaksakan untuk mengonversi minyak tanah ke gas yang akhirnya menimbulkan antrean panjang disemua pangkalan minyak tanah diberbagai daerah di Indonesia dan ini akhirnya menjadi sangat ironi untuk sebuah negara anggota OPEC (Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak). Lemahnya akses masyarakat terhadap minyak tanah dan lemahnya pemerintah dalam mengantisipasi kenaikan harga minyak dunia merupakan imbas dari dikuasainya 14 kilang/sumber minyak Indonesia oleh perusahaan minyak asing negara-negara maju. Disisi lain bahwa kenaikan harga kedelai sampai hari ini belumlah direspons pemerintah dengan mantap dan meyakinkan untuk meredam gejolak kenaikan harga dan krisis pangan yang semakin melanda negeri ini. Lonjakan harga kedelai-sebagai bahan baku tahu dan tempe-baru direspons dengan menolkan bea masuk. Dan ini bukanlah solusi substantive karena bea masuk hanya 10%, sedangkan harga kedelai di pasar global melesat hingga 100%. Penghapusan bea masuk justru memberi pukulan yang berat bagi para petani kedelai lokal yang pangsa pasarnya sudah habis diserbu oleh pasar kedelai impor.
Di bidang ekonomi bahwa sampai hari ini pemerintah tetap mengikuti sekian banyak resep dari kelompok Mafia Berkeley yang telah mengabdi selama 32 tahun kepada regim otoriter Soeharto. Banyak dari anggota dan muridnya yang menduduki posisi-posisi kunci dalam bidang ekonomi dan menjadi saluran strategi serta kebijakan yang dirumuskan oleh IMF, Bank Dunia dan Departemen Keuangan Amerika Serikat. Mafia Berkeley sekaligus berfungsi sebagai alat untuk memonitor agar kebijakan ekonomi Indonesia sejalan dan searah dengan kebijakan umum ekonomi yang digariskan oleh Washington. Garis kebijakan ini di kemudian hari dikenal dengan “Washington Consensus”, beberapa rumusan kebijakan seperti Pertama, kebijakan pengetatan anggaran yang selain untuk mengendalikan stabilitas makro dan menekan inflasi, sebetulnya juga dimaksudkan agar tersedia surplus anggaran untuk membayar utang. Bahkan penghapusan subsidi untuk rakyat seperti untuk pendidikan, kesehatan, perumahan, UKM, dipaksakan hanya agar tersedia surplus anggaran untuk membayar utang. Pembayaran utang adalah suatu keharusan, sementara anggaran untuk pemenuhan kebutuhan dasar rakyat seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, dll adalah urusan belakangan. Kedua, liberalisasi keuangan untuk memperlancar transaksi global dan menjamin modal dan dividen setiap saat dapat keluar dari negara berkembang. Ketiga, liberalisasi industri dan liberalisasi perdagangan demi memudahkan negara-negara maju mengekspor barang dan jasa ke negara berkembang. Tetapi negara-negara maju sendiri melakukan perlindungan terhadap sektor industri dan pertaniannya melalui kuota, kebijakan anti-dumping, export restraint, subsidi dan hambatan non-tarif. Keempat, privatisasi atau penjualan aset-aset milik Negara yang dimaksudkan agar peranan negara di dalam ekonomi berkurang sekecil mungkin. Dalam prakteknya program penjualan aset-aset negara tersebut dilakukan dengan harga sangat murah (under-valued) sehingga sering terjadi program privatisasi identik dengan rampokisasi (piratization), seperti diungkapkan Prof. Marshall I. Goldman dari Harvard[6]. Karena strategi dan kebijakan ekonomi Indonesia selalu dirancang oleh Mafia Bekeley maka akan selalu menempatkan Indonesia sebagai subordinasi (sekedar kepanjangan tangan) dari kepentingan global. Padahal tidak ada negara menengah yang berhasil meningkatkan kesejahteraannya dengan mengikuti model Washington Konsensus. Subordinasi kepentingan rakyat dan nasional kepada kepentingan global mengakibatkan Indonesia tidak memiliki kemandirian dalam perumusan Undang-Undang, strategi dan kebijakan ekonomi yang akhirnya Indonesia juga tidak memiliki fleksibilitas untuk merumuskan strategi ekonomi karena terpaku pada model generik Washington Konsensus. Padahal model tersebut dirancang terutama untuk memperjuangkan kepentingan ekonomi global sehingga negara-negara yang mengikutinya justru akan gagal meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.
Disituasi sosial-politik bukanlah menjadi cukup baik perkembangannya, ditengah terpuruknya perkembangan bangsa ini kedalam tangan-tangan modal internasional yang selalu dipermudah dengan terbitnya undang-undang yang memfasilitasi masuknya investasi, elit politik hari ini malah sibuk secara bersama-sama mencoba mengambil peran dalam pemilu 2009, seakan-akan bahwa di negara ini tidaklah terjadi apa-apa sehingga proses demokrasi seperti pemilu haruslah menjadi ajang “adu jago” para elit yang siap menjadi antek-antek dari modal internasional. Semua elit politik hari ini sibuk dengan berbagai macam urusan kampanyenya menuju 2009, disisi lain masyarakat dipicu konflik horizontal dengan proses demokrasi yang katanya paling demokratis lewat pemilihan langsung. Proses Pilkadal dibeberapa daerah yang akhirnya membawa konflik horizontal dibeberapa daerah kembali menguat dan ini merupakan bukan hal yang baru bagi kita, mengingat bahwa sepanjang 10 tahun reformasi berjalan sampai hari ini hanya menghasilkan kekuatan politik (partai politik dan tokoh-tokohnya) yang lahir di masa reformasi, apakah itu PAN, PDIP, PKB, PKS, serta sejumlah partai dan tokohnya yang lain, yang akhirnya menjadi pemicu konflik secara horizontal dibeberapa daerah. Wajah politik Indonesia justru terjerembab masuk kedalam dunia libido kekuasaan para elit politik yang memfaatkan masyarakat dan menjebak masyarakat dalam benih-benih perpecahan, yang pada akhirnya masyarakat dibuat lupa atas problem-problem kerakyataan yang sampai hari ini masih dan akan terus berkembang karena perilaku elit-elit politik yang mementingkan kekuasaan belaka.
Sekian banyak pembacaan kita terhadap perkembangan situasi saat ini kemudian yang menjadi pertanyaan besar kita adalah dimana kita mulai untuk membangun gerakan , atau perjuangan rakyat demi menuju kemerdekaan 100%?.
Melihat dari perkembangan situasi hari ini, bahwa penguatan indikasi menuju krisis semakin terlihat dan model krisis di tahun 1997 mungkin akan terulang atau akan semakin parah bila dibandingkan dengan tahun 1997. Hal ini mengingat bahwa kenaikan harga minyak dunia dan didorong kenaikan harga sembako bukan hanya memukul para pengusaha-pengusaha besar melainkan juga sektor industri informal yang memang selama ini luput dari perhatian pemerintah. Maka situasi yang cukup menguat dalam menuju jurang krisis ini haruslah menjadi respon kita sebagai organisasi gerakan. Oleh karena itu kemunculan organisasi gerakan menjadi penting dalam mengawal perubahan situasi dan perjuangan rakyat baik dari sektoral mahasiswa dan berbagai macam sektoral masyarakat lainnya. Untuk itu, kita harus segera membalikan urutannya, bukan sosialisme dan kapitalisme yang telah menjadi batas pilihan-pilihan gerak sejarah tetapi sejarah lah yang memberi batas untuk kapitalisme dan sosialisme. Dengan begini, kita bisa melihat bahwa (ternyata) dunia sedemikian luas dan manusia sudah begitu kaya. Dan Nasional Demokrasi Kerakyatan (NDK) sebagai antitesa dari ideologi-ideologi besar dunia juga memiliki kesempatan sejarah hari ini sebagai bahan refleksi dan basis teori sikap tindakan rakyat Indonesia untuk mewujudkan kemerdekaan 100% atas pertukaran yang timpang dari Kapitalisme Global serta sisa-sisa bangunan feodalisme yang telah bercokol lama di negeri ini. Menjadi jelas, bahwa sikap sejarah kaum pergerakan hari ini seharusnya setia dan tetap percaya untuk menggunakan pendekatan sejarah teori. Sebab masa depan negeri ini bukanlah dicukupkan ketika aktifis-aktifis kiri-kanan atau tengah itu sekalipun telah merasa cukup ketika sudah mempelajari dan menghapalkan teks-teks revolusioner yang itu sesungguhnya berasal dari pengalaman orang lain dan bukannya pengalaman kita sendiri. Kaum pergerakan haruslah mampu untuk menjadi konteks (bukannya teks) dan selalu berdialetika antara teori yang sedang dibangun dengan gerak laju realitas masyarakatnya sendiri. Kalau Lenin pernah mengatakan : “Tidak ada Gerakan Revolusioner Tanpa Teori Revolusioner”, maka hari ini harus kita ralat menjadi “ Tidak Ada Gerakan dan Teori Revolusioner tanpa Kesadaran Revolusioner”. Dan kesadaran revolusioner ini harus lahir atas tarikan praksis dari obyektivitas sejarah, local atau indigenous knowledge, yakni pengalaman-pemahaman otentik ketika berhadapan dengan penindasan dalam memperjuangkan pembebasannya”. Mengembangkan teori praksis tentang nasional demokrasi kerakyatan dalam semangat building new path of proletariat movemen, juga harus kita pandang sebagai Indonesian way to build internasional justice/global fairness. Ini artinya, bahwa kita berkewajiban untuk terus mencerdasi konflik yang terjadi dari sekian peristiwa sosial ekonomi politik juga kebudayaan yang terjadi sebagai efek dari praktek liberalisasi. Di sisi lain, bangunan masyarakat produksionis maju harus dapat mengukuhkan Nasional Demokrasi Kerakyatan yang juga mampu memposisikan diri sebagai mode of production, bagian dari masyarakat internasional dengan siasat atas segala dampak maupun kecenderungannya. Kita sebagai anak negeri ini haruslah percaya dan yakin 100% bahwa Indonesia masih bisa menjadi intelektual organik bagi negara-negara dunia ketiga, sebab posisi republik ini untuk mewujudkan Keadilan Global yang sangat signifikan. Ketika banyak daerah di Eropa sadar bahwa krisis ke depan adalah krisis air bersih, tiba-tiba di Indonesia lahir UU Sumber daya Air. Ketika Amerika Latin mulai bergerak ke arah kiri dengan menasionalisasi aset perusahaan minyak Amerika Serikat, tiba-tiba Condeleza Rice datang ke Indonesia untuk merebut Blok Cepu dari pangkuan ibu pertiwi, belum lagi Freeport sebagai perusahaan tambang emas terbesar di dunia telah ratusan tahun menjadi penyuplai upeti terbesar ke AS dan sekutunya. Belum lagi, praktek-praktek liberalisasi segala bidang yang pada akhirnya mengakibatkan jasa pelayanan publik dan sosial di negeri ini melambung tinggi juga menjadi catatan panjang bahwa sesungguhnya bangsa kita adalah bangsa besar yang pada suatu saat rakyat akan segera merapatkan barisan untuk merebut kedaulatan kuasa rakyat atas tanah, air dan udaranya sendiri[7].
Demikan eksplorasi sitnas kita saat ini, semoga dapat menjadi bahan kajian dan kemudian dikembangkang dengan berbagai referensi bagi kawan-kawan diinternal ruang pengorganisirannya masing-masing. Kurang lebihnya kami ucapkan terima kasih.

Tidak ada gladi resik dalam revolusi. Itulah satu-satunya alasan kenapa kita butuh kewaspadaan, bukan kecurigaan yang hanya akan melahirkan rencana-rencana gerakan (yang) tidak lebih sebagai bentuk lain frustasi permanen para pemburu kekuasaan. Demokrasi tidak bisa dipahami sebagai ajang perebutan kekuasaan semata melainkan harus dipahami untuk memenuhi kepentingan rakyat yang terjalin lewat logika ekonomistis sebagai turunan dari moda produksi yang dimungkinkan dalam sebuah formasi sosial. (Nademkra Sebagai Antitesa)
Tertanda Ferry Widodo Sekjend FPPI Pimkot Jogjakarta

[1] ANALISIS, Benarkah 2008 Jadi Tahun Balon?; SINDO edisi Rabu, 23/01/2008

[2] Krisis Pangan; http://ciptapangan.com
[3] Krisis Pangan; http://ciptapangan.com
[4] ANALISIS, Krisis Pangan Lagi; Republika edisi 21 Januari 2008

[5]Harga Beras Diduga Terus Menguat Hingga Tahun 2008; Bisnis Indonesia Edisi 1 November 2007

[6] Mafia Berkeley : Kegagalan Indonesia Menjadi Negara Besar di Asia; http://www.duaberita.com

[7] Nademkra sebagai Antitesa; http://fppi.blogspot.com/

Cerita Kita tentang Perkembangan ekonomi

PEMIKIRAN EKONOMI MASA PRA-KLASIK

A. MASA YUNANI KUNO

– Masa Yunani Kuno kata ekonomi = 'oikos' dan 'nomos' yg artinya pengaturan/pengelolahan rumah tangga.
– Pemikiran tentang ekonomi masih menjadi bagian dari filsafat moral.

Plato (427-347) in “Respublica”
• Gagasan Plto tentang Ekonomi bersumber dari pemikirannya tentang keadilan.
• Merumuskan tentang pembagian kerja
1. Penguasa (kaum Filsuf/bangsawan/kaum aristokrat)
2. Tentara
3. Pekerja
• Hanya Kaum pekerja yg boleh bekerja, sedangkan penguasa dan tentara harus bekerja demi negara tidak boleh bekerja demi harta, agar mereka dpat mengabdi dengan serius kpd negara.
• Pembagian dan pengaturan ini penting demi mengekang nafsu/naluri manusia demi terciptannya adil dan makmur.
• Teori plato tentang uang di bukunya “Politica”. Uang sebagai alat tukar, sebagai alat ukur nilai, juga alat penimbun kekayaan dan uang bersifat mandul dan sekaligus tidak berhak di kembangkan dan diperanakan (bunga).

Aristippus
• Pengagas paham Hedonisme.
• Paham Hedonisme merupakan cikal bakal paham materialistik yang kemudian dikembangkan pada abad ke 17 dan 18.
• Paham hedonisme merupakan materialisme mekanik yang menganggap kenikmatan egiostik sebagai tujuan akhir kehidupan manusia. Yang kemudian diperkuat Aristtipus dengan pernyataan bahwa manusia bijaksana adalah manusia yang mencari kenikmatan sebesar2nya didunia.

Aristoteles (384-322 SM)
• Oran pertama yang mengatakan pembahasan ekonomi adalah bidang sendiri dan tdk dikait2kan dengan bidang lainnya.
• Kontribusinya pada pemikiran tentang pertukaran barang dan kegunaan uang. Menurutnya kebutuhan manusia (man's need) tidak terlalu banyak, tetapi keinginannya (man's desire) relatif tanpa batas.
• Aristoteles membedakan antara kegunaan (use) dan keuntungan (gain). Lebih spesipik dia membedakan antara oeconomia (ilmu ekonomi) dan chrematistike...????
• Aristoteles setuju dengan oeconomia yang secara tegas dia mengatakan bahwa pedagang2 yg dtang kekota2 yg mengekploitasi petani meskin didesa, inilah yang perbedaan pendapat antara aristoteles dan adam smith dalam melihat perdagangan. Kalau aristoteles mengatakan kaum pedagang haruslah melakukan pedagangan dengan motif faedah bukan mengeruk keuntungan, sedangkan smith mengatakan sebaliknya.

B. PEMIKIRAN KAUM SKOLASTIK (ZAMAN PERTENGAHAN)
Pemikiran ini muncul dilatar blakangi oleh kuatnya hubungan ekonomi dng masalah etis serta besarnya perhatian thd masalah keadilian dan pemikiran kaum skolatik dipengaruhi oleh pemikiran2 gereja pada saat itu.

Albertus Magnus (1206-1280)
• Pemikirannya tentang “harga adil dan pantas”.
Dan pengikuutnya st Thomas Aquinas (1225-1274)
• Pemikirannya di pengaruhi oleh Albertus Magnus, Aristoteles dan Gereja.
• Dalam bukunya Summa Theologica Aquinas menjelaskan bahwa memungut bunga dari uang yang dipinjamkan adalah tidak adil dan ini sama seperti menjual sesuatu yang tidak ada.

C. ERA MERKANTILISME
– Penjelajahan Samudera” adalah abad dimana banyak ditemukan daerah-daerah baru juga jalur-jalur pelayaran baru menuju dunia timur untuk mencari rempah-rempah. penjelajahan ini dilakukan oleh dua negara Eropa yaitu Portugal dan Spanyol. Motif penjelajahan ini yaitu: Gold (Emas, ini disebabkan karena berkurangnya persediaan emas di Iberia, selain itu juga karena saat itu Eropa menganut sistem ekonomi Merkantilisme yang menentukan kaya tidaknya suatu negara lewat persediaan emasnya), Glory, Gospel.
– Selain 3 penyebab tersebut, jatuhnya Konstantinopel ke tangan Turki Utsmani juga makin mendorong mereka untuk mencari rempah-rempah sendiri. Mereka yang asalnya berdangang di sana pada saat itu hanya mau berdagang paling jauh di Italia (Genoa, Venesia, dll). Saat itu Paus membagi dunia yang saat itu dianggap datar menjadi 2 bagian dengan “Perjanjian Tordesillas”. Perjanjian Tordesilllas (Bahasa Portugis: Tratado de Tordesilhas, Bahasa Spanyol: Tratado de Tordesillas) pada 7 Juni 1494 yang membagi dunia di luar Eropa menjadi duopoli eksklusif antara Spanyol dan Portugal sepanjang suatu meridian 1550 km sebelah barat kepulauan Tanjung Verde (lepas pantai barat Afrika), sekitar 39°53'BB. Wilayah sebelah timur dimiliki oleh Portugis dan sebelah barat oleh Spanyol.
– Istilah merkantilisme berasal dri kata “merchant” yang berarti pedagang menurut paham merkantilisme, setiap negara yang berkeinginan untuk maju harus melakukan perdagangan dengan negara lain.
– Sebagian orng menganggap era merkentilisme merupakan era kebijaksanaan ekonomi terutama tentang sistem perdagangan yang dipraktikan antara tahun 1500 hingga 1750 dan bukan sebagai aliran/ mahzab ekonomi.
– Paham merkantilisme banyak dianut oleh banyak negara2 eropa pada abad ke 16, seperti Inggris, belanda, portugis, spanyol, dan prancis.
– Masa merkantilisme disebut sebagai masanya pedagang yang dintadai sebagai tiap2 orang menjadi ahli ekonomi bagi dirinya sendiri. Tulisan2 ini berserakan, akan tetapi akan menjadi rujukan utama Adam Smith dalam menyusun “The Wealth Of Nation”.
– Karena perdagangan dilakukan antar negara, maka sumber kekayaan negara melalui surplus pedagangan luar negeri yg diterima dalam bentuk emas dan perak. Dan kekayaan yang diterima ini jugalah sumber kekuasaan, tidak heran bahwa pada waktu itu banyak saudagar2 bukan hanya dari saudara dekat raja tetapi juga saudagar yg bekerjasama dengan kerajaan maka kebijakan yang paling umum diambil bahwa memperluas ekspor dan mempersempit impor.
– Tokoh2 era merkantilisme : Jean Boudin (1530-1596), Thomas Mun/saudagar kaya dari Inggris (1571-1641), Jean Babtis Colbert/pejabat negara sebagai menteri ekonomi di jaman raja Luis XIV sekaligus saudagar prancis ( 1619-1983), Sir William Petty/dosen pengajar di Oxford Univesity dan dijuluki salah satu founding pemikiran ekonomi politik modern (1623-1687).

D. MAHZAB FISIOKRAT
– Berbeda dengan kaum merkantilisme, kaum fisiokrat menganggap bahwa sumber kekayaan yang senyata-nyatanya adalah sumber daya alam.
– Kaum ini dinamakan kaum physiocratism = physic (alam) dan cratain atau cratos (kekuasaan). Kaum fisiokrat percaya bahwa alam diciptakan oleh Tuhan penuh keselarasan dan keharmonisan.
– Kaum fisiokrat menganggap bahwa sistem perekonomian seperti sistem alam yang penuh keharmonian. Yang artinya bahwa biarkan manusia diberikan kebebasannya mengelolah alam demi memenuhi kebutuhannya masing2 dan akan selaras dengan kebutuhan masyarakat banyak.
– Artinya bahwa pemerintah tidak boleh ikut campur dan biarkan alam yang mengatur. Inilah yang menjadi cikal bakal doktrin laissez faire-laissez passer” / let do, let pass = biarkan semua terjadi, biarkan semua berlalu.

Francis Quesnay (1694-1774)
• Seorang dokter ahli ilmu bedah.
• Pada tahun 1758 Quesnay menulis buku tentang Table Economique, dengan latar belakang seorang dokter Quesnay menyususn teori ekonomi lainya anatomi tubuh manusia, yg artinya antara satu dengan satu lainnya saling berhubungan dan merupakan satu kestuan yg harmonis dan semua berjalan dengan hukum2nya sendiri.
• Francis Quesnay membagi masyarakat dalam empat golongan.
Golongan 1 adalah golongan masyarakt produktif yang mengelolah tanah pertambangan dan pertanian.
Golongan 2 adalah kelas tuan tanah.
Golongan 3 adalah kelas yang tidak produktif yg terdiri dari pengrajin dan saudagar.
Golongan 4 adalah kelas masyarakat buruh yg menerima upah dari tenaganya.
• Penjelasan : Bagi Quesnay hokum ekonomi berkesuaian dengan hokum alam, dan menjadikan alam dalam hal ini tanah sebagai sumber kemakmuran masyarakat. Termasuk pula didalamnya pengelolahan pertanian, peternakan dan pertambangan. Kelas tuan tanah dianggap sebagai penghisap belaka sebab memperoleh hasil dengan tidak melakukan kerja pengolahan tanah. Kegiatan industri dan perdagangan dinilai tidak produktif karena kegiatan industri hanya mengubah bentuk dan sifat barang. Dan kelas pedagang tugasnya hanya memindahkan tempat barang yg satu ketempat yang lain.
• Karena itu Quesnay menganjurkan agar kebijakan2 pemerintah lebih mendukung dan meningkatkan taraf hidup kaum tani.
• Dengan dasar pandangan inilah kaum merkantilisme yg menganggap bahwa sumber kemakmuran Negara adalah hasil perdagangan luar negeri dianggap sebagai suatu pandangan yang keliru bagi kaum fisiokrat. Kaum fisiokrat juga mengkritik kaum merkantilis yang menciptakan berbagai macam regulasi kebijakan perdagangan yang seharusnya di bebaskan dari control. Kaum merkantilis dituduh penyebab harga tinggi dan pajak tinggi.
– Kenapa pemikiran ini dianggap “Mahzab/ aliran”, karena pda saat inilah Quenay telah menyusun pemikiran tentng ekonomi yang lebih maju, dengan bentuk pol dan garis pemikirannya sudah tersusun dlam kerangka dasar analisis tertentu mengenai gejala2, peristiwa2 dan masalah2 ekonomi yg dihadapi oleh masyarakat.

Minggu, 03 Februari 2008

Cerita kita tentang Perbandingan

Cerita kita tentang Perbandingan

Hari-hari terakhir ini kita dikejutkan oleh demo kaum minoritas India di Malaysia. Kita saksikan dari tayangan televisi internasional seperti CNN dan BBC World Service, mereka menggunakan cara-cara damai seperti mendiang Mahatma Gandhi yang sejak permulaan abad ke-20 melawan berbagai tindak kelaliman di India.
Ini sesuai dengan seruannya untuk melawan tanpa kekerasan (Ahimsa), melakukan perjuangan terus-menerus di jalan yang benar untuk mencapai cita-cita (Satyagraha),dan kemandirian sebuah bangsa (Swadesi). Mahatma Gandhi sendiri mencintai kaum sudra yang demikian melarat dan merupakan kasta terendah dalam tata sosial masyarakat Hindu. Banyak dari mereka yang kemudian menyatakan diri sebagai kelompok tidak berkasta. Dalam hal ini, Gandhi sendiri menamai mereka sebagai anak Tuhan yang dalam bahasa aslinya disebut sebagai harijan.
Dari kelompok ini muncul tokoh-tokoh yang hebat, yaitu para pejuang gigih yang mengikuti perjuangan Gandhi seperti Nayaran dan Zakir Husein. Akan tetapi, baik Perdana Menteri Abdullah Badawi (Pak Lah) maupun para menteri terkait serta Kepolisian Diraja Malaysia justru dengan marah menyatakan perjuangan para demonstran penuh dengan kekerasan. Bagi kita sederhana saja, siapakah yang berbohong dalam hal ini? Jawabnya mudah diterka. Ketika wasit karate kita dipukuli oleh pihak Kepolisian Malaysia, mereka pun menyatakan tidak melakukan pemukulan sama sekali. Selain itu, tidak pernah ada penyelidikan objektif oleh pihak ketiga dalam kasus ini.
Dengan demikian,kita tidak pernah tahu mana yang benar antara dua buah klaim saling bertentangan. Pernyataan yang tidak jelas kebenarannya juga sering keluar dari aparat penegak hukum kita.Ada cerita tentang Mike Tyson yang sedang bertanding. Tyson duduk di pojok ring untuk istirahat. Pada saat itu keringatnya diseka handuk. Handuk itu diperas begitu kering oleh seorang penyeka keringat. Tyson yang keheranan bertanya kepada orang itu, “Dari mana asalmu? Dan mengapa Kamu dapat memeras seluruh keringat saya hingga kering? Orang itu menjawab dari Indonesia.
Dia juga sudah terbiasa “memeras keringat” orang karena sudah dua puluh lima tahun bekerja di kejaksaan.Ini adalah lelucon yang memalukan, sebagai respons atas kelakuan para petugas di lembaga-lembaga yang bersangkutan. Ketika di Jepang diumumkan tiga orang yang mati digantung karena kejahatan mereka, Menteri Kehakiman Jepang dengan tegas menyatakan ia yang memerintahkan hal itu karena selama ini sama sekali tidak diumumkan. Alasannya, untuk menjaga perasaan keluarga orang-orang bersangkutan. Ketika penulis artikel ini menyatakan kepada media massa bahwa Adelin Lis pergi ke Cikeas, Andi Mallarangeng menyatakan pernyataan itu bohong.
Penulis mempersilakan Andi Mallarangeng untuk mengajukan somasi, namun sampai hari ini (sudah lebih dari dua minggu) hal itu tidak dilakukan. Padahal, yang dikemukakan Susilo Bambang Yudhoyono kepada sidang kabinet setelah kejadian itu memang benar. Dia tidak pernah bertemu dengan Adelin Lis,karena yang bertemu adalah Suko Sudarso. Jadi yang berbohong adalah Andi Mallarangeng. Kasusnya hampir sama dilakukan oleh Menko Kesra Aburizal Bakrie melalui PT Lapindo Brantas.
Dia menjanjikan seperlima harga tanah di Porong akan dibayarkan kepada penduduk setempat karena dia sendiri tahu bahwa empat perlima harga tanah itu tidak mungkin dibayar oleh PT Lapindo Brantas. Sebuah bank besar di Jakarta menolak memberikan pinjaman kepadanya untuk itu. Ada suatu hal yang sama dalam kedua hal itu, yaitu kebohongan dipakai sebagai alat untuk menipu rakyat. Ini sudah tentu merupakan hal yang sangat menyedihkan bagi mereka yang mengikuti kedua perkembangan tersebut dengan saksama dan berhati-hati.
Nah, sebuah pemerintahan yang aparatnya suka berbohong, dapatkah diserahi tugas melaksanakan hukum dengan adil dan jujur? Inilah jawaban atas pertanyaan tersebut: tidak dapat. Karena itu penulis artikel ini memang sengaja meminta agar demokrasi penuh ditegakkan di negeri ini karena minimal penegakan demokrasi akan memerlukan kedaulatan hukum dan pelaksanaan peraturan-peraturan dalam segala bentuk, akan menjadi tuntutan terbuka yang tidak dapat diabaikan. Kita memiliki negeri yang besar dan bangsa yang kuat.
Dengan penduduk berjumlah 210 juta lebih dan bentang areal sekitar 5.000 kilometer dari Merauke ke Sabang, Indonesia dapat dianggap sebagai sebuah negara dan bangsa yang besar.Tapi kini, mengapa negara-negara tetangga kita tidak menganggap demikian? Karena kita memang saat ini memiliki pemimpin-pemimpin “berukuran” kecil dan hanya pantas menjadi bangsa yang kecil dan melarat. Kita memerlukan gagasan besar dan para pemimpin besar bagi sebuah bangsa besar dan negara yang kuat. Sudah seharusnya kita mempunyai orientasi pembangunan nasional yang bersifat merakyat dan tidak hanya mengurusi orang kaya saja. Kalau demikian, kita tentu memerlukan sebuah arah atau orientasi baru sama sekali bagi pembangunan nasional kita di masa depan,bukan?(*) Abdurrahman Wahid

Sabtu, 27 Oktober 2007

CERITA KITA TENTANG PENDIDIKAN SEBAGAI DASAR PEMBANGUNAN NASIONAL DALAM

PENDIDIKAN SEBAGAI DASAR PEMBANGUNAN NASIONAL DALAM
KAITANNYA DENGAN BHP

Oleh Ferry W

“Pendidikan tidak mempunyai tujuan lain diluar pendidikan. Nilainya bersumber dari prinsip dan standart yang tersirat di dalamnya. Menjadi seorang yang terdidik tidak harus sampai pada suatu tujuan, tetapi mempunyai suatu pandangan yang berbeda.”

Munculnya problema sosial, politik, budaya dan ekonomi di bangsa ini, seperti produktifitas penduduk terdidik yang merosot, persentase penduduk miskin yang meninggi, pengangguran yang semakin membesar, situasi negara yang mengalami ketergantungan dengan negara maju serta kultur budaya masyarakat bangsa yang kian tercerabut dari akar budayanya akan selalu dikaitkan dengan bagaimana pendidikan mampu menyelesaikan ini dan selalu akan memvonis dunia pendidikan itu sendiri. Karena cerminan kemajuan dan kebobrokan masyarakat disuatu negara pasti akan dilihat dari kualitas pendidikannya. Melihat dari semakin terdegradasinya moral dan etika serta carut marutnya sistem sosial masyarakat saat ini maka masyarakat pasti akan menghakimi ketidak-berdayaan lembaga pendidikan dalam menghasilkan out put pendidikan yang itu ternyata tidak mampu menyelesaikannya.
Mungkin inilah wajah pendidikan kita saat ini. Terlepas dari wajah pendidikan kita yang tercoreng moreng saat ini, kalau kita coba menilik ulang atas sejarah munculnya kaum terdidik pada era kolonial pada tahun 1900 dengan diterapkanya politik etis atau politik balas budi yang secara fundamental membuat 3 kebijakan dalam hal : Edukasi, Irigasi dan Emigrasi, oleh pihak kolonial Belanda. Ini adalah awal mula perkenalan rakyat bangsa ini dengan dunia pendidikan ala barat. Tetapi perkenalan pada dunia pendidikan ala barat ini ternyata mempunyai dampak sejarah yang sangat penting bagi bangsa ini. Edukasi (baca: pendidikan) ala barat ini ternyata mempunyai otoritas yang cukup dominan dalam membangun konstruksi berpikir masyarakat Indonesia ke depan. Karena dari pembacaan sejarah yang ada ternyata pihak kolonial Belanda bukan hanya rakus atas sumber daya alam bangsa ini, namun juga melakukan penghancuran terhadap sendi-sendi berpikir masyarakat dengan memberikan ruang pendidikan pada para anak bangsawan dan priyayi, agar tradisi Feodalisme yang selama ini menguntungkan pihak kolonial tidak akan lenyap. Sarana yang diberikan pada anak-anak Priyayi, dalam hal pendidikan ternyata tidak lebih hanya menghasilkan tenaga operasional / administratif dalam menjalankan mesin-mesin yang digunakan pemerintah kolonial untuk meningkatkan efisiensi monopoli ekonominya, namun infrastruktur yang mengatur tetap pemerintah VOC. Maka seiring dengan penindasan yang terjadi di tubuh kaum terdidik pri-bumi / anak bangsa, beberapa dari mereka menyatakan untuk melakukan perlawanan dilandasi semangat Nasionalisme yang begitu kuat seperti : Tirto Adi Suryo, Mas Marcokartodikromo, Kartini, Ki Hajar Dewantara, Soekarno dan Tan Malaka. Mereka sadar karena telah menjadi korban praktek pendidikan kolonial untuk semakin mempersempit ruang kesadaran masyarakat terhadap makna kemerdekaan 100%.

Dunia Pendidikan kita, apa dan bagaimana saat ini ?
Sejarah tidak sedang berubah tetapi hanya berganti cover depan. Dunia pendidikan sebagai salah satu bagian yang terpenting dalam menciptakan intelektual-intelektual organik seperti yang dikatakan Antonio Gramsci, karena ternyata yang sampai hari ini yang terjadi melihat dari fenomena out put pendidikan yang dihasilkan dari sistem pendidikan kita saat ini, adalah hanya akan menciptakan robot-robot pekerja guna memenuhi kebutuhan “pasar” atau kebutuhan dunia kerja dengan kata lain pendidikan hanya akan menghasilkan intelektual-intelektual yang berorientasi sebagai pekerja (working oriented).
Ini jelas terlihat adanya dan telah kita rasakan bahwa ternyata dunia pendidikan yang ada tidak lebih dari sebuah lelucon sejarah bagi bangsa ini. Paradigma pendidikan yang di Era kolonial memakai orang-orang Pribumi sebagai tenaga operasional dan administratif VOC, ternyata hari ini mengalami semacam proses Reinkarnasi, yaitu Institusi pendidikan ditingkat pusat maupun daerah melalui Otonomi Daerahnya semakin menampakkan taring komersialisasi yang secara hakekatnya ialah Etos Kapitalisme melalui sistem Edukasi. Tercerabutnya mental dan semangat anak bangsa dari hasil dunia pendidikan dalam membangun bangsa ini ternyata banyak mendapat warna dari kekuasaan pemimpinnya, jika kita tengok pasca hengkangnya kolonialisme di Indonesia, yang menyisakan banyak semangat perlawanan untuk memerdekakan Nusantara.
Tirani / kekuasaan yang dipimpin oleh Soeharto pasca penurunan Soekarno melalui SUPER SEMAR (Surat Perintah Sebelas Maret) di tahun 1966, menggunakan kiblat Ekonomi sebagai Panglima dengan nuansa Developmentalisme atau Pembangunan-isme , memasuki babak baru bagi bangsa ini dalam catatan sejarah yang hitam. Melalui putaran Tokyo tahun 1966 (Tokyo Around) , yang darinya Indonesia mendapat kebaikan negara-negara maju untuk menjadwal ulang hutang-hutang yang diwariskan Orde Lama, adalah penjualan Tanah Air Indonesia sebagai jaminan utang Orde Baru. Keterlibatan Indonesia dengan Internasional dalam rantai pertukaran yang timpang atau tidak seimbang (unequal exchange) dimulai dari sini, dan ini kemudian dikenal sebagai Peraturan Oktober, yang dilandasi oleh kerakusan sekaligus kebodohan para penguasa, lagi-lagi punggung rakyat Indonesia kembali ditimpa kemiskinan akibat Kapitalisme Internasional. Dengan pembangunan Taman Mini Indonesia Indah, oleh ibu Tien Soeharto.
Bila kita kembali menilik kepada situasi yang sangat kontemporer hari ini bahwa perkembangan dunia pendidikan semakin semerawut dan merasuk kedalam logika perdagangan pasar (baca: liberalisasi pasar), hal ini mengingat bahwa semakin menggilanya penetrasi kapitalisme Internasional di negara ini. Liberalisasi sektor pendidikan jelas terlihat dari 12 sektor jasa yang diliberalisasikan dalam General Agrement on Tariff and Services (GATS) ala WTO. Artinya pendidikan pun dijadikan sebagai barang komersial yang dapat diperjualbelikan sesuai dengan logika perdagangan ala WTO. Yang kemudian liberalisasi sektor pendidikan dilegitimasi dengan kemunculan Kebijakan Otonomi Kampus, UU Sisdiknas, Kebijakan BHMN (Badan Hukum Milik Negara), RUU BHP (Badan Hukum Pendidikan) dan Perpres No. 76 dan 77 Tahun 2007, mampu membuat beberapa siswa sekolah dasar untuk bunuh diri dan masih banyak lagi yang menikmati pendidikan hanya dengan bermimpi sebab mahalnya pendidikan yang kian melambung tinggi setinggi bintang dilangit.
Tercatat bahwa lembaga Universitas Indonesia sejak tahun 1999 telah mengalami perubahan secara fundamental, seiring dengan di berlakukannya Peraturan Pemerintah RI Nomor 61/Tahun 1999 tentang penetapan perguruan tinggi negeri sebagai badan hukum. Dari 4 kampus percobaan( UI, UGM, ITB, dan IPB) kemudian bertambah menjadi 8 di tahun 2000 yaitu UPI Bandung, Univ, Airlangga (Unair), Univ Diponegoro (Undip), dan Univ Sumatra Utara (USU), dan sampai tahun 2007 perubahan status Perguruan tinggi (PT) negeri menjadi BHM semakin bertambah. Kenyataan ini menunjukkan bahwa lembaga Unversitas di Indonesia mulai mengarah pada privatisasi Kampus (Neoliberalisme). Demi semakin massifnya pemerintah menjadikan dunia pendidikan sebagai lahan mengeruk keuntungan maka pemerintah dan DPR pun kembali menegaskan dengan mendorong disahkannya RUU BHP-Badan Hukum Pendidikan, sebagai turunan disahkanya UU Sisdiknas.
Ancaman terbesar mahasiswa saat ini (selain UU Sisdiknas, PP Nomor 61/Tahun 1999 yang sudah berlaku) adalah pengesahan RUU-BHP, Alih-alih menjadi lembaga universitas menjadi mandiri secara finasial. Justru semangat utama RUU-BHP adalah swastanisasi dan Komersialisasi pendidikan, pendidikan akan berubah menjadi bahan dagangan yang tidak lagi menitikberatkan kualitas. Dalam RUU BHP antara lain disebutkan kepemilikan PTS oleh yayasan, perorangan, atau badan hukum maksimal memiliki saham 35 persen dan sisanya "dijual" kepada masyarakat yang berminat. Memang tidak adalagi kesenjangan swasta dan PTN tetapi kenyataannya adalah bahwa pendidikan semakin mahal dan susah di jangkau oleh warga masyarakat. semua kebijakan ini hanyalah pelaksanaan dari kebijakan World Trade Organization(WTO) yakni General Agreement on Trade and Service(GATS), sebuah aturan pemaksaaan bagi Negara-negara dunia ketiga untuk meliberalkan sector pendidikan, dan sekaligus membuka kampus untuk para pemodal menanamkan modalnya.
Inilah alat legitimasi masuknya institusi-institusi pendidikan asing yang bakal masuk ke tanah negeri ini. Yang kemudian menjadi persoalan baru yang sangat substansi dengan masuknya institusi-institusi pendidikan asing ini adalah bahwa ini bukti nyata penetrasi kapitalisme internasional yang ingin coba menginvestasikan modalnya di dunia pendidikan yang memang hanyalah di ruang ini yang belum 100 % terekploitasi oleh kapitalisme internasional. Proses eksploitasi yang akan dilakukan lewat masuknya institusi-institusi pendidikan asing adalah dengan mengambil langkah dengan menerapkan bentuk baru institusi dan akan disertai dengan mahalnya biaya pendidikan ini secara otomatis menjadikan pendidikan sebagai komoditas baru dalam mengeruk keuntungan. Yang kemudian berimbas pada terggerusnya institusi-institusi pendidikan yang ada saat karena tidak mampu berkompetisi dengan institusi-intitusi pendidikan asing dan yang akhirnya mampu bersaingpun akan semakin menggila dalam menaikan biaya pendidikanya. Ini jelas bukti yang nyata adanya saat ini, bahwa yang namanya komerialisasi dan kapitalisasi pendidikan semakin tidak terbendung lagi seiring dengan menigkatnya penetrasi kapitalisme internasional, walaupun sebenarnya komersialisasi di dunia pendidikan khususnya institusi PT, meskipun belum berjalan sepenuhnya namun dampaknya sudah sedemikian buruknya. Pada tahun 1999(awal pemberlakuan BHMN) di perkirakan kenaikan biaya kuliah dari 300 hingga 400%. Di Universitas Indonesia uang pangkal—Admission Fee (untuk peserta seleksi SPMB) sebesar Rp.5 Juta hingga Rp 25 juta, sedangkan untuk program Prestasi Minat Mandiri (PPMM) Rp. 25 Juta-Rp75 Juta. Untuk kampus sekelas Institut Tekhnology Bandung (ITB) di kenakan Biaya Sumbangan dana Pengembangan Akademik bisa mencapai 45 Juta. Itu belum termasuk biaya SPP dan kebutuhan lainnya. Universitas Gajah Mada (UGM) memberlakukan Sumbangan Peningkatan Mutu Akademik(SPMA) yang besarnya bisa mencapai Rp.20 Juta untuk jalur SPMB dan Non-SPMB. Argumentasi dari pendukung liberalisasi pasar bahwa biaya pendidikan sebesar itu di peruntukkan untuk kualitas pendidikan agar mengikuti standar internasional (syarat memasuki free trade/pasar bebas). Sehingga keterlibatan swasta, atau para pemodal dalam lingkup kampus adalah untuk menolong pembiayaan kampus (konsep Otonomi Kampus) bukan lagi mengandalkan subsidi pemerintah. Mari kita lihat kebenaran argumentasi tersebut? Akibat pemberlakuan uang masuk yang mahal maka bisa di pastikan bahwa banyak orang-orang yang secara IQ cerdas namun karena tidak mampu membayar sehingga tidak di terima di PTN. Proses pengerukan keuntungan ini kembali diperparah dengan pemberlakuan jalur khusus (dengan biaya puluhan juta hingga ratusan) justru lahan subur nepotisme, hanya anak-anak orang kaya yang belum tentu kualitasnya bagus masuk ke dalam PTN. Universitas seperti UGM hanya menempati urutan 77 dari 77 Universitas di kawasan Asia-Australia, apalagi universitas-universitas lain yang hanya mengandalkan “Papan nama” harus bersaing dalam kompetisi global.
Dalam persoalan fasilitas setelah UGM menjadi BHMN juga tidak ada perubahan, mahasiswa masih memiliki problem dengan ruangan kelas yang terbatas sehingga harus berdesak-desakan. Di beberapa kampus memang di bangun fasilitas seperti jasa Internet M-Web, atau pembangun Toko buku (gramedia,dll), tetapi harganya susah di akses oleh semua mahasiswa terutama dari klas menengah kebawah. Di kampus Universitas Hasanuddin setelah perubahan status menjadi BHMN, di lakukan renovasi dan pembangunan fasilitas besar-besaran (satelit, Bis Kampus, AC untuk tiap ruangan, kamera CCTV) tetapi semua fasilitas ini harus di bayar mahal oleh mahasiswa dengan membengkaknya biaya pendidikan SPP dan lain-lain, belum lagi untuk mengakses fasilitas tersebut harus membayar Fee—dengan kedok biaya penelitian.
Korporasi yang merambah kampus sekarang bukan hanya dalam bentuk penempatan orang di Majelis Wali Amanat (MWA), tetapi juga pembentukan Unit Komersil yang berada di bawah naungan WMA. Di berbagai PTN/bahkan PTS di Indonesia kita bisa menjumpai minimarket (semisal Alfamart), layanan Bank dan ATM-nya (BNI, BCA, Mandiri), Jasa komersil internet-an, Mc. Donald, dan lain-lain. Fasilitas-fasilitas kampus yang di bangun dengan dana mahasiswa dan Subsidi pemerintah (Pajak Masyarakat) justru kini di komersilkan seperti Aula, Gelanggang Olahraga, asrama mahasiswa, hingga perpustakaan. Gedung alumni IPB lebih sering di pakai untuk seminar umum ketimbang di pergunakan oleh mahasiswa, Baruga AP Pettarani (Auditorium Univ. Has) lebih sering dipergunakan oleh pihak luar untuk acara-acara seminar, pernikahan, dan lain-lain ketimbang di manfaatkan mahasiswa.
Dengan ini bahwa semakin jelaslah bahwa biaya pendidikan yang semakin mahal semakin menghalangi keinginan lulusan SMA dari klas menengah dan bawah untuk mengandalkan otak dan prestasi akademiknya karena itu tidak di hargai dalam kampus neoliberal. Akibatnya jumlah orang yang kuliah di Universitas terus menerus turun, lihat saja untuk tahun 2003 hanya 10% dari penduduk usia mengenyam pendidikan Perguruan tinggi yang bisa mengenyam pendidikan. Kampus yang sudah telanjur besar dengan mudah membuat jejaring dengan dunia usaha sehingga kian maju. Sebaliknya, kampus yang terbelakang sulit dilirik oleh dunia usaha sehingga tetap tertinggal di tengah ketatnya persaingan pasar. Van Hoof & Van Wieringen (1986) mengatakan dalam suatu konferensi pendidikan tinggi Eropa, "Jika pemerintah suatu negara tidak secara serius memerhatikan arah dan pengelolaan pendidikan tinggi di negaranya, dapat dipastikan pembangunan ekonomi Negara tersebut akan terhambat.".
Belum lagi kalau kita melihat pada hal yang paling krusial dalam dunia pendidikan itu sendiri, yang dimaksud hal yang paling krusial adalah kurikulum. Jelas saat ini kurikulum yang terdapat dalam bangku pendidikan bukanlah kurikulum yang berorientasi pada penyelesaian problem-problem kerakyataan, tetapi sangat mengabdi kepada pasar tenaga kerja (Labour Market). Dalam kasus BHMN kampus telah berubah status menjadi reserarh University (dulu di cetuskan di Jerman untuk mendukung pemerintahan NAZI melakukan penemuan-penemuan baru dalam persenjataan). Yang salah dari konsep ini penemuan technology dan IPTEK bukan di peruntukkan untuk kepentingan seluruh umat manusia, tetapi nantinya akan di kuasai oleh Korporasi Asing dalam bentuk Hak Cipta dan hak paten. Selain itu pendidikan di Universitas akan menjalin kerjasama dengan korporasi-korporasi dengan pola Link and Match atau pola magang di korporasi untuk ketersediaan tenaga professional. Jelas status BHMN tidak menghasilkan kualitas seperti yang dimitoskan, malah status ini menjerat pendidikan sekedar mesin penjaga kestabilan akumulasi modal dalam alam kapitalisme. Hubungan tidak linear antara PT dan sektor ekonomi disebabkan oleh pergeseran paradigma penyelenggaraan PT sebagai akibat langsung industrialisasi modern pasca-Perang Dunia II. Para pakar ekonomi sosial, seperti Castells (2000), Callinicos (1999), dan Rifkin (2000), mencatat, semangat membangun kembali setelah perang melalui industrialisasi modern menumbuhkan tuntutan pragmatis masyarakat atas peran PT. Pola pengelolaan modal industri membentuk persepsi masyarakat bahwa investasi ekonomi dalam bidang pendidikan juga harus kembali dalam bentuk profit ekonomi. Akibatnya, tolok ukur masyarakat atas keberhasilan pendidikan adalah kerja yang mengembalikan investasi. Hal ini diperparah dengan kurikulum yang ada selama ini masih terpusat pada Garis Besar Program Pengajaran (GBPP) yang sedemikian mendetail yang itu menyebabkan tujuan dan evaluasi pendidikan semata-mata dipusatkan pada pengembangan kognitif dan lagi semua kurikulum kegiatan pendidikan didasarkan pada GBPP tersebut, misalnya buku teks dan evaluasi harus sama dengan GBPP. Yang akibatnya kurikulum dengan segala rangkaiannya menjadi steril, membosankan, tidak relevan dan tidak aplikatif dengan kehidupan masyarakatnya. Kurikulum pendidikan, seyogyanya dirancang untuk memberikan pengalaman-pengalaman yang merangsang peningkatan kreativitas, intelektualitas, dan daya analisis. Kurikulum harus menyajikan hal-hal yang praktis dan disesuaikan dengan latar belakang kehidupan yang bervariasi, tujuan hidup yang berbeda, serta daya pemahaman terhadap persoalan yang berbeda pula. Pendidikan harus dapat menyajikan kesempatan-kesempatan untuk berbuat dan bertindak berdasarkan apa yang dipahami seseorang maupun kesempatan untuk berteori tentang solusi yang ideal dari berbagai masalah. Dengan singkat, kurikulum harus dapat diperkenalkan kepada anak didik dengan berbagai cara belajar maupun berbagai jenis pengetahuan. Pada gilirannya hal-hal ini mampu mempersiapkan anak didik untuk merencanakan masa depannya dan masyarakatnya, serta berperan aktif dalam merealisasikannya.
Maka yang kemudian menjadi tawaran yang dalam melihat fenomena pendidikan yang ada dengan mencoba merombak ulang semua sistem dan merumuskan metode dan formulasi baru dalam dunia pendidikan di bangsa ini. Dengan kata lain Revolusi pendidikan adalah sebuah keharusan guna penyelesaian sekian problem yang ada di dunia pendidikan. Revolusi dalam bidang pendidikan mencakup segi kuantitas dan kualitas. Sejalan dengan pertumbuhan dalam bidang ekonomi, politik dan bersandar atas kebutuhan masyarakat yang berubah secara pesat, revolusi pendidikan pada akhirnya diarahkan untuk kesejahteraan umat manusia. Melihat semakin banyaknya problem di dunia pendidikan akhirnya catatan-catatan untuk segera melakukan perubahan secara radikal bukanlah tawaran utopis tapi menjadi program yang solutif dalam menyelesaikan problem di dunia pendidikan. Beberapa program solutip yang kemudian menjadi penting dan harus segera dilaksanakan adalah :
Demikian makalah yang sekedarnya ini saya sampaikan, pada akhirnya perubahan di sector pendidikan bukanlah tanggung jawab dari praktisi pendidikan, pengamat pendidikan dan akademisi, tetapi menjadi tanggung jawab kita semua yang peduli akan nasib bangsa ini yang semakin terpuruk dalam kemiskinan, ketidak adilan dan kesenjangan social yang besar. Sekian paparan ini, kurang lebihnya saya ucapkan terima kasih. CAYOOO…..

“…pendidikan bukanlah sebuah anak jaman, melainkan harus ikut menginterpertasikan dan mentransformasikan kehidupan bangsa menuju lebih baik, dalam arti menghormati keanekaragaman maupun memberdayakan secara prefential mereka yang tertinggal…”
(Ferry Widodo)

FENOMENA DUNIA PENDIDIKAN

FENOMENA DUNIA PENDIDIKAN
DI INDONESIA
®
Oleh Ferry W[1]

“Pendidikan tidak mempunyai tujuan lain diluar pendidikan. Nilainya bersumber dari prinsip dan standart yang tersirat di dalamnya. Menjadi seorang yang terdidik tidak harus sampai pada suatu tujuan, tetapi mempunyai suatu pandangan yang berbeda.”[2]

Munculnya problema sosial, politik, budaya dan ekonomi di bangsa ini, seperti produktifitas penduduk terdidik yang merosot, persentase penduduk miskin yang meninggi, pengangguran yang semakin membesar, situasi negara yang mengalami ketergantungan dengan negara maju serta kultur budaya masyarakat bangsa yang kian tercerabut dari akar budayanya akan selalu dikaitkan dengan bagaimana pendidikan mampu menyelesaikan ini dan selalu akan memvonis dunia pendidikan itu sendiri. Karena cerminan kemajuan dan kebobrokan masyarakat disuatu negara pasti akan dilihat dari kualitas pendidikannya. Melihat dari semakin terdegradasinya moral dan etika serta carut marutnya sistem sosial masyarakat saat ini maka masyarakat pasti akan menghakimi ketidak-berdayaan lembaga pendidikan dalam menghasilkan out put pendidikan yang itu ternyata tidak mampu menyelesaikannya.
Mungkin inilah wajah pendidikan kita saat ini. Terlepas dari wajah pendidikan kita yang tercoreng moreng saat ini, kalau kita coba menilik ulang atas sejarah munculnya kaum terdidik pada era kolonial pada tahun 1900 dengan diterapkanya politik etis atau politik balas budi yang secara fundamental membuat 3 kebijakan dalam hal : Edukasi, Irigasi dan Emigrasi, oleh pihak kolonial Belanda. Ini adalah awal mula perkenalan rakyat bangsa ini dengan dunia pendidikan ala barat. Tetapi perkenalan pada dunia pendidikan ala barat ini ternyata mempunyai dampak sejarah yang sangat penting bagi bangsa ini. Edukasi (baca: pendidikan) ala barat ini ternyata mempunyai otoritas yang cukup dominan dalam membangun konstruksi berpikir masyarakat Indonesia ke depan. Karena dari pembacaan sejarah yang ada ternyata pihak kolonial Belanda bukan hanya rakus atas sumber daya alam bangsa ini, namun juga melakukan penghancuran terhadap sendi-sendi berpikir masyarakat dengan memberikan ruang pendidikan pada para anak bangsawan dan priyayi, agar tradisi Feodalisme yang selama ini menguntungkan pihak kolonial tidak akan lenyap. Sarana yang diberikan pada anak-anak Priyayi, dalam hal pendidikan ternyata tidak lebih hanya menghasilkan tenaga operasional / administratif dalam menjalankan mesin-mesin yang digunakan pemerintah kolonial untuk meningkatkan efisiensi monopoli ekonominya, namun infrastruktur yang mengatur tetap pemerintah VOC. Maka seiring dengan penindasan yang terjadi di tubuh kaum terdidik pri-bumi / anak bangsa, beberapa dari mereka menyatakan untuk melakukan perlawanan dilandasi semangat Nasionalisme yang begitu kuat seperti : Tirto Adi Suryo, Mas Marcokartodikromo, Kartini, Ki Hajar Dewantara, Soekarno dan Tan Malaka. Mereka sadar karena telah menjadi korban praktek pendidikan kolonial untuk semakin mempersempit ruang kesadaran masyarakat terhadap makna kemerdekaan 100%.

Dunia Pendidikan kita, apa dan bagaimana saat ini ?
Sejarah tidak sedang berubah tetapi hanya berganti cover depan. Dunia pendidikan sebagai salah satu bagian yang terpenting dalam menciptakan intelektual-intelektual organik[3] seperti yang dikatakan Antonio Gramsci, karena ternyata yang sampai hari ini yang terjadi melihat dari fenomena out put pendidikan yang dihasilkan dari sistem pendidikan kita saat ini, adalah hanya akan menciptakan robot-robot pekerja guna memenuhi kebutuhan “pasar” atau kebutuhan dunia kerja dengan kata lain pendidikan hanya akan menghasilkan intelektual-intelektual yang berorientasi sebagai pekerja (working oriented).[4]
Ini jelas terlihat adanya dan telah kita rasakan bahwa ternyata dunia pendidikan yang ada tidak lebih dari sebuah lelucon sejarah bagi bangsa ini. Paradigma pendidikan yang di Era kolonial memakai orang-orang Pribumi sebagai tenaga operasional dan administratif VOC, ternyata hari ini mengalami semacam proses Reinkarnasi, yaitu Institusi pendidikan ditingkat pusat maupun daerah melalui Otonomi Daerahnya semakin menampakkan taring komersialisasi yang secara hakekatnya ialah Etos Kapitalisme melalui sistem Edukasi. Tercerabutnya mental dan semangat anak bangsa dari hasil dunia pendidikan dalam membangun bangsa ini ternyata banyak mendapat warna dari kekuasaan pemimpinnya, jika kita tengok pasca hengkangnya kolonialisme di Indonesia, yang menyisakan banyak semangat perlawanan untuk memerdekakan Nusantara.
Tirani / kekuasaan yang dipimpin oleh Soeharto pasca penurunan Soekarno melalui SUPER SEMAR (Surat Perintah Sebelas Maret) di tahun 1966, menggunakan kiblat Ekonomi sebagai Panglima dengan nuansa Developmentalisme atau Pembangunan-isme [5], memasuki babak baru bagi bangsa ini dalam catatan sejarah yang hitam. Melalui putaran Tokyo tahun 1966 (Tokyo Around) , yang darinya Indonesia mendapat kebaikan negara-negara maju untuk menjadwal ulang hutang-hutang yang diwariskan Orde Lama, adalah penjualan Tanah Air Indonesia sebagai jaminan utang Orde Baru. Keterlibatan Indonesia dengan Internasional dalam rantai pertukaran yang timpang atau tidak seimbang (unequal exchange) dimulai dari sini, dan ini kemudian dikenal sebagai Peraturan Oktober, yang dilandasi oleh kerakusan sekaligus kebodohan para penguasa, lagi-lagi punggung rakyat Indonesia kembali ditimpa kemiskinan akibat Kapitalisme Internasional. Dengan pembangunan Taman Mini Indonesia Indah, oleh ibu Tien Soeharto.
Penetrasi Kapitalisme Internasional bukan saja mengurita dalam hal ekonomi politik bangsa ini. Tetapi telah merasuk ke dalam sendi-sendi terdalam bangsa ini. Pendidikan sebagai bagian sendi-sendi yang terpenting bagi penciptaan karakter anak bangsa ternyata telah tercerabut dari akarnya. Penciptaan karakter yang semestinya lebih terparadigmakan pada humanisasi (memanusiakan manusia) di mana manusia dibentuk dan diarahkan untuk menjadi dirinya sendiri serta dapat mengaktualisasikan dirinya secara penuh sebagai ens rationale (makhluk rasional), ens sociale (makhluk sosial), serta sekaligus sebagai ens morale (makhluk bermoral) dan ens religiosus (makhluk yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa)[6], ini semua ternyata telah terdistorsi dilihat dari paradigma pendidikan yang adalah fenomena dehumanisasi atau pemerosotan nilai manusia yang kemudian berujung pada exploitation I’homme par I’homme, yang artinya adalah penghisapan manusia terhadap manusia lainnya.
Bentuk-bentuk penetrasi Kapitalisme Internasional dalam dunia pendidikan kita yang jelas-jelas telah kita rasakan dari mulai “manutnya” pemerintah Indonesia dengan mengikuti anjuran IMF untuk menghapuskan subsidi pendidikan sebagai bagian kosekuensi dari “sukanya” pemerintah menghutang kepada Kapitalisme Internasional. Liberalisasi sektor pendidikan jelas terlihat dari 12 sektor jasa yang diliberalisasikan dalam General Agrement on Tariff and Services (GATS) ala WTO. Artinya pendidikan pun dijadikan sebagai barang komersial yang dapat diperjualbelikan sesuai dengan logika perdagangan ala WTO. Hal ini berdampak pada semakin terbukanya arus pergeseran kapital dalam dunia pendidikan, yang salah satunya terlihat dengan masuknya sekian perguruan tinggi asing di Indonesia. Secara otomatis bisnis pendidikan ini akan menguntungkan negara-negara yang memiliki fondasi kapital yang cukup kuat seperti Amerika Serikat, Inggris dan Australia. Tercatat pada tahun 2000, ekspor jasa pendidikan Amerika Serikat mencapai US $ 14 milyar. Di Inggris sumbangan ekspor pendidikan mencapai 4% dari total penerimaan sektor jasa negara tersebut. Demikian juga dengan Australia, yang pada tahun 1993, ekspor jasa pendidikan dan pelatihan telah menghasilkan AUS $ 1,2 milyar. Sehingga tidak mengherankan tiga negara tersebut yang amat getol untuk menuntut liberalisasi jasa pendidikan melalui WTO. Yang kemudian dilegitimasi dengan kemunculan UU Sisdiknas, Kebijakan BHMN (Badan Hukum Milik Negara), RUU BHP (Badan Hukum Pendidikan) dan Perpres No. 76 dan 77 Tahun 2007[7], mampu membuat beberapa siswa sekolah dasar untuk bunuh diri dan masih banyak lagi yang menikmati pendidikan hanya dengan bermimpi sebab mahalnya pendidikan yang kian melambung tinggi setinggi bintang dilangit.
Kembali menjadi konsekuensi yang harus diterima dari pencabutan subsidi pendidikan (menurut UU Sisdiknas yang ternyata hanya dianggarkan 20 %) adalah dengan berubahnya ”kampus-kampus” negeri menjadi BHMN (Badan Hukum Milik Negara) Pasca munculnya UU Otonomi Daerah yang di dalamnya memuat kebijakan otonomi kampus, berbagai perguruan tinggi kemudian tidak lagi disubsidi oleh pemerintah. Ada empat perguruan tinggi, yakni UI, ITB, UGM, dan IPB yang terkena kebijakan itu. Dengan model pengelolaan Badan Hukum Milik Negara (BHMN), keempat perguruan tinggi itu tidak lagi memperoleh subsidi. Dan, karenanya, para rektor dituntut untuk mencari biaya sendiri dengan caranya masing-masing dan ini telah menjadikan institusi-institusi negeri ini semakin mengila dalam mengeruk keuntungan, dengan jalan diberlakukanya BOP (Biaya Operasional Pendidikan) dan uang-uang iuran yang tidak masuk akal. Hal ini kemudian menyulut beberapa reaksi yang kemudian berujung pada diterapkannya mekanisme pendidikan dua jalur antara jalur kaya dan jalur miskin yang secara otomatis akan adanya perbedaan pada kurikulum serta sarana dan prasarana institusi pendidikan serta akan menyebabkan semakin terjadinya proses dikskriminasi dan disintergrasi sosial dalam dunia pendidikan itu sendiri. Ini jelas bertentangan dengan semangat pendirian institusi pendidikan itu sendiri, karena dalam dunia pendidikan status sosial tidak menjadikan peserta didik berbeda dalam hal institusi sebab tugas institusi pendidikan adalah menjamin tidak adanya diskrimnasi dan disintegrasi sosial dan yang harus di lihat bahwa dalam institusi pendidikan perlu terjadinya sebuah sistem sosial yang mempunyai organisasi unik dan pola relasi diantara peserta didik yang bersifat unik pula demi terjadinya integrasi sosial yang tidak tercermin atas strata sosial.[8]
Hal ini kemudian diperparah dengan akan masuknya institusi-institusi pendidikan asing yang bakal masuk ke tanah negeri ini. Yang kemudian menjadi persoalan yang sangat substansi dengan masuknya institusi-institusi pendidikan asing ini adalah bahwa ini bukti nyata penetrasi kapitalisme internasional yang ingin coba menginvestasikan modalnya di dunia pendidikan yang memang hanyalah di ruang ini yang belum 100 % terekploitasi oleh kapitalisme internasional. Proses eksploitasi yang akan dilakukan lewat masuknya institusi-institusi pendidikan asing adalah dengan mengambil langkah dengan menerapkan bentuk baru institusi dan akan disertai dengan mahalnya biaya pendidikan ini secara otomatis menjadikan pendidikan sebagai komoditas baru dalam mengeruk keuntungan. Yang kemudian berimbas pada terggerusnya institusi-institusi pendidikan yang ada saat karena tidak mampu berkompetisi dengan institusi-intitusi pendidikan asing dan yang akhirnya mampu bersaingpun akan semakin menggila dalam menaikan biaya pendidikanya. Ini jelas bukti yang nyata adanya saat ini, bahwa yang namanya komerialisasi dan kapitalisasi pendidikan semakin tidak terbendung lagi seiring dengan menigkatnya penetrasi kapitalisme internasional.
Belum lagi kalau kita melihat pada hal yang paling krusial dalam dunia pendidikan itu sendiri, yang dimaksud hal yang paling krusial adalah kurikulum. Jelas saat ini kurikulum yang terdapat dalam bangku pendidikan bukanlah kurikulum yang berorientasi pada penyelesaian problem-problem kerakyataan. Kurikulum yang ada selama ini masih terpusat pada Garis Besar Program Pengajaran (GBPP) yang sedemikian mendetail yang itu menyebabkan tujuan dan evaluasi pendidikan semata-mata dipusatkan pada pengembangan kognitif dan lagi semua kurikulum kegiatan pendidikan didasarkan pada GBPP tersebut, misalnya buku teks dan evaluasi harus sama dengan GBPP. Yang akibatnya kurikulum dengan segala rangkaiannya menjadi steril, membosankan, tidak relevan dan tidak aplikatif dengan kehidupan masyarakatnya[9]. Kurikulum pendidikan, seyogyanya dirancang untuk memberikan pengalaman-pengalaman yang merangsang peningkatan kreativitas, intelektualitas, dan daya analisis. Kurikulum harus menyajikan hal-hal yang praktis dan disesuaikan dengan latar belakang kehidupan yang bervariasi, tujuan hidup yang berbeda, serta daya pemahaman terhadap persoalan yang berbeda pula. Pendidikan harus dapat menyajikan kesempatan-kesempatan untuk berbuat dan bertindak berdasarkan apa yang dipahami seseorang maupun kesempatan untuk berteori tentang solusi yang ideal dari berbagai masalah. Dengan singkat, kurikulum harus dapat diperkenalkan kepada anak didik dengan berbagai cara belajar maupun berbagai jenis pengetahuan. Pada gilirannya hal-hal ini mampu mempersiapkan anak didik untuk merencanakan masa depannya dan masyarakatnya, serta berperan aktif dalam merealisasikannya.
Maka yang kemudian menjadi tawaran yang dalam melihat fenomena pendidikan yang ada dengan mencoba merombak ulang semua sistem dan merumuskan metode dan formulasi baru dalam dunia pendidikan di bangsa ini. Dengan kata lain Revolusi pendidikan adalah sebuah keharusan guna penyelesaian sekian problem yang ada di dunia pendidikan. Revolusi dalam bidang pendidikan mencakup segi kuantitas dan kualitas. Sejalan dengan pertumbuhan dalam bidang ekonomi, politik dan bersandar atas kebutuhan masyarakat yang berubah secara pesat, revolusi pendidikan pada akhirnya diarahkan untuk kesejahteraan umat manusia. Melihat semakin banyaknya problem di dunia pendidikan akhirnya catatn-catan untuk segera melakukan perubahan secara radikal bukanlah tawaran utopis tapi menjadi program yang solutif dalam menyelesaikan problem di dunia pendidikan. Beberapa program solutip yang kemudian menjadi penting dan harus segera dilaksanakan adalah :
1. Pendidikan Gratis Untuk masyarakat.
2. Rombak kurikulum yang ada/ membuat kurikulum yang sesuai dengan situasi dan kebutuhan masyarakat Indonesia, sehingga kurikulum yang ada menjadi ilmia dan bervisi kerakyataan.
3. Demokratisasi dunia pendidikan dan institusi pendidikan termasuk semua lembaga-lembaga yang ada di instuti pendidikan tersebut.
Dengan demikian, maka segi pemerataan dalam bidang pendidikan memegang kunci yang penting dalam meciptakan kesejahteraan masyarakat pada umumnya.
Demikian makalah yang sekedarnya ini saya sampaikan, pada akhirnya perubahan di sector pendidikan bukanlah tanggung jawab dari praktisi pendidikan, pengamat pendidikan dan akademisi, tetapi menjadi tanggung jawab kita semua yang peduli akan nasib bangsa ini yang semakin terpuruk dalam kemiskinan, ketidak adilan dan kesenjangan social yang besar. Sekian paparan ini, kurang lebihnya saya ucapkan terima kasih. CAYOOO…..

“…pendidikan bukanlah sebuah anak jaman, melainkan harus ikut menginterpertasikan dan mentransformasikan kehidupan bangsa menuju lebih baik, dalam arti menghormati keanekaragaman maupun memberdayakan secara prefential mereka yang tertinggal…”
(Ferry Widodo)
® Tulisan ini di sampaikan pada acara diskusi di Fakultas Ilmu sosial dan politik UPN Veteran Yogyakarta
[1] Divisi Jaringan Front Perjuangan Pemuda Indonesia Pimpinan kota Jogjakarta, juga aktif sebagai Pengurus tidak tetap di Pusat Studi Masyarakat
[2] 50 Pemikir Pendidikan dari Piaget sampai masa sekarang, editor Joy A. Palmer, Jendela Yogyakarta Juni 2003.
[3] Intelektual Organik merupakan intelektual yang bergerak atas amanat penindasan rakyat, jadi dia bukan Intelektual Tradisional yang bagi Gramsci adalah seorang intelektual yang tanpa hati nurani dan konservatif pemikirannya.
[4] Mahasiswa dan Sistem Pendidikan, oleh Ferry Widodo, makalah bagi PERMMAK Fakultas Ekonomi Universitas Janabadra.
[5] Suatu paham yang mengajarkan mengenai bentuk-bentuk modernisasi yang ditandai dengan bangunan-bangunan yang menjulang tinggi dan symbol-simbol kemwahan yang lainnya yang sama sakali tidak dibutuhkan rakyat Indonesia kala itu.
[6] Pendidikan Formal Sebagai Permasalahan Bangsa, oleh Saptono Jenar, makalah ditulis sebagai sumbangsih tulisan kepada Atma Jaya Studie Club (ASC).
[7] Turunan dari Undang-undang Penanaman Modal, yang memuat tentang ketentuan Investasi bagi industri-industri terbuka, yang salah satunya adalah pendidikan.
7 Sosiologi Pendidikan, ST.Vembriarto., Andi Ofset Yogyakarta Juni 1984.
[9] Mahasiswa dan Sistem Pendidikan, oleh Ferry Widodo, makalah bagi PERMMAK Fakultas Ekonomi Universitas Janabadra.

Sabtu, 15 September 2007

“Cerita Kita tentang : Imperialisme Dan Peralihan Kekapitalisme Di Negara Dunia Ketiga”

Imperialisme Dan Peralihan Kekapitalisme Di Negara Dunia

Ramalan Karl Marx tetantang keruntuhan kapitalisme ternyata hanya lah sebuah ramalan, yang entah kapan akan terjadi. Over produksi kapitalisme ternyata menemukan fase baru dalam sejarah perkembangan kapitalisme itu sendiri. Ekspor modal dan ekspor komoditi yang dilakukan kapitalisme ternyata membawa pengaruh besar dalam perkembangan negara-negara yang dipakai sebagai pasar bagi kapitalisme. Lenin mengidentifikasi gejala ini dengan teorinya yaitu imperialisme. Syarat mutlak kapitalisme seperti ekpansi, eksploitasi dan akumulasi, betul-betul terjadi dalam proses imperialisme kapitalisme. Pasar diasumsikan bukan hanya sebagai lahan menjual komoditi tetapi juga sebagai alat ekploitasi sumber-sumber mineral baru dalam proses produksi kapitalisme. Dalam hal pasar sekaligus sumber mineral baru bagi kapitalisme adalah negara-negara dunia ketiga, seperti Indonesia.
Khusus Indonesia, kapitalisme mengalami bentuk yang sangat berbeda dibandingkan dengan negara-negara lain dibelahan bumi ini. Perdebatan intelektual terhadap proses imperialisme negara-negara kapitalis sehingga menimbulkan proses peralihan kekapitalisme di negara-negara berkembang (khusus amerika latin dan negara-negara benua afrika), ternyata membawa dampak bagi kaum intelektual dalam melihat proses peralihan kekapitalisme khususnya di Indonesia.
Sejarah mencatat bahwa masuknya kolonialisasi Belanda dengan membentuk kongsi dagang VOC tahun 1602 merupakan periode awal proses peralihan kekapitalisme di Indonesia. Praktek kapitalisme kolonial menidentifikasikan peralihan melalui produksionis. Hal ini ditujukan dengan monopoli perdangangan sebagai bentuk dari artikulasi produksi kolonial. Kemudian penguasaan lahan pertanian yang luas oleh kolonial ternyata dipakai oleh kaum kolonial untuk memaksa bangsa pribumi menanam tanaman kebutuhan pasar ekspor kolonial. Spesialisasi komoditi hasil bumi merupakan pengkondisian mode of produksi kolonial yang juga melalui perluasan penguasaan lahan pertanian kaum pribumi. Pasca dibubarkannya VOC serta pasca perang Diponegoro proses peralihan kekapitalisme mengalami fase depedensia secara ekonomi terhadap kaum kolonial. Kekosongan kas kaum kolonial pasca perang Diponegoro serta perselingkuhan sesat kaum priyayi dengan para kolonialis, maka dengan mudahnya kaum kolonial menerapkan cultuure stelsel pada tahun 1830-1870. Ini menandakan ekploitasi besar-besar oleh kaum kolonial baik hasil bumi serta tenaga kerja.
Modernisasi sebagai bagian dari proses peralihan kekapitalisme mulai dikenalkan oleh kaum kolonial dengan politik etisnya. Cara hidup dan cara berfikir kebarat-baratan sengaja dipakai untuk pemenuhan tenaga kerja rendahan bagi kaum kolonial. Hal ini berlanjut sampai era kemerdekaan tahun 1945.
Jatuhnya Soekarno naiknya Soeharto, menandahkan era baru peralihan kekapitalisme di Indonesia. Ideologi pembangunanisme atau yang lebih dikenal developmentalisme, dikenalkan oleh Soeharto. Hal ini didukung penuh dengan keadaan global. Situasi global pasca perang dunia II, dengan lahirnya lembaga-lembaga kartel ekonomi di Bretton Wood, serta perpindahan perputaran kapital dari Eropa ke Amerika merupakan awal peralihan kekapitalisme di negara-negara dunia ketiga, khususnya di Indonesia dengan metode sirkulasionisme. Pax Americana serta Marshal Plan berhasil memaksa negara-negara dunia ketiga untuk terjebak ke dalam jeratan utang dari Amerika, termasuk Indonesia. Uruguay Around, Tokyo Around dan Paris Club merupakan forum tingkat dunia negara kapitalis untuk memaksa serta mengontrol negara-negara dunia ketiga khususnya Indonesia dalam hal kebijakan ekonomi dan politik. Hal ini menunjukan unequal exchange dalam proses pertukaran ditingkat internasional. Jebakan utang menyebabkan terjadinya proses ketergantungan yang berkepanjangan kepada negara-negara kapitalis, hal ini diperparah dengan aliansi borjuis negara dengan borjuis kapitalisme internasional serta karakter negara yang totaliterianisme.

Peralihan Kekapitalisme di Negara Dunia Ketiga।

Teori Sirkulasionis (studi kasus Amerika Latin)

Tokoh-tokohnya : Andre Gunder Frank, Immanuel Wallerstein, Samir Amin dan Arghiti Emmanuel.
Teori Ketergantungan dan keterbelakangan serta Sistem dunia.
Pengambilan Surplus dari Negara pinggiran. Bagi penganut teori sirkulasionis meyakini bahwa imperialisme terjadi karena arus modal dari pinggiran ke pusat bersifat pertukaran yang timpang.
Menurut Andre Gunder Frank (Studi Kasus Chili dan Brasil)

Hubungan Negara pinggiran dan Negara pusat pasti menghasilkan yang disebut pembangunan keterbelakangan.
Frank lebih berbicara tentang aspek politik; hubungan politis antara modal asing dengan klas-klas yang berkuasa dinegara satelit.
Tiga komponen utama teori Frank
1. Modal Asing.
2. Pemerintahan lokal dinegara-negara satelit
3. Kaum Borjuis.
Ciri-ciri perkembangan kapitalisme dinegara satelit menurut Frank.
1. Kehidupan ekonomi yang bergantung pada Negara metropolis.
2. Kerjasama modal asing dengan klas2 yang berkuasa (pemerintah local dan pejabat-pejabat).
3. Terjadi kesenjangan yang sangat besar antara kaum borjuis local dan masyarakat miskin.
Menurut Arghiti Emmanuel (system dunia); terjadinya hubungan pertukaran yang timpang antara Negara periperi dan Negara pusat. (unequal exchange).

Teori Produksionis (studi kasus Asia dan Afrika)

Kritiknya terhadap sirkulasionis lebih dilihat pada hubungan produksi.
Lebih menekankan pada konsep cara produksi dan formasi social.
Lebih banyak dipengaruhui oleh pemikir2 strukturalis (Louis Althuser dan Etiene Balibar). Yang kemudian teori ini dikembangkan oleh Pierre Philipe-rey, Ernesto Laclau, Robert Brener, Hamzah Alavi (otonomi relative dan pembangunan berlebihan)..
Teori produksionis meliputi.
1. Artikulasi cara Produksi.
2. Cara-cara Produksi colonial
3. Internasionalisasi modal.

Cerita kita tentang Negeri Naga Selayang Pandang

Negeri Naga Selayang Pandang Sebuah
Catatan Perjalanan Oleh : Adi Harsono
Ikatan Ahli Teknik Perminyakan
"Negara ini selalu menjadi perhatian dunia,dia dibenci, dicemburui, ditakuti sekaligus dikagumi। Dia dicurigai baik oleh negara adikuasa maupun negara-negara Asia, walaupun di abad 20 dia tidak pernah menjajah negara lain। Negara ini pernah diremehkan oleh Soeharto dan menteri-menteri Indonesia. Negara ini memang penuh pontensi juga kontroversi. Negara yang memiliki sejarah peradababan tertua, bahkan tercatat dalam kitab suci untuk dijadikan tempat menimba ilmu. Inilah Negeri Naga, bukan lagi negara tirai bambu seperti yang kita ketahui sebelumnya..."

Hari Wanita China
Tanggal 8 Maret adalah Hari Wanita Dunia juga dirayakan di China. Biasanya perayaannya cukup besar. Organisasi perempuan di sini adalah 'Persatuan Wanita 8 Maret' (PW8M), merupakan salah satu organisasi masyarakat sistem Sosialis/ Komunis. Mirip-mirip Dharmawanita Indonesia dulu, hanya saja mereka mengakar sampai ke RT/RW dan desa-desa, tidak terikat dengan lingkungan instansi mereka saja. Kegiatan utama adalah sosial, pendidikan, kesejahteraan anak-anak, membantu karyawan wanita yang terkena PHK dan lain lain. Tentu saja mereka juga ikut memperjuangkan hak kaum wanita. Dari majalah dan informasi yang saya baca, PW8M cukup efektif dalam membawa kaum wanita China keluar dari cengkraman tradisi kuno dan keterbelakangan. Tugas mereka tidak mudah mengubah tradisi penindasan kaum wanita yang sudah kronis sejak zaman kerajaan dahulu kala, dan bukankah anak prempuan dari dulu selalu dianggap sial di desa-desa di China? Kongres Tahunan Rakyat China yang ke 9 akan segera dibuka, saya lihat di TV, delegasi (setingkat DPRD) minoritas banyak yang wanita। Muda-muda dan berpakaian adat warna-warni sehingga tampak cantik-cantik.
Miss Wu dan Wanita China
Baru-baru ini seorang wanita lajang Miss Wu Shi Guang, 41 tahun, mantan General Man-ager IBM dan Microsoft di China, membuat dunia gempar dengan bukunya berjudul 'Melawan Arus' (entah sudah diterbitkan dalam bahasa Inggris belum?). Padahal wanita ini hanya lulus SMA, berparas biasa saja, mungkin karena nekad, pintar ngomong dan bergaul, karirnya naik dari seorang Pelayan Kantor IBM sampai menduduki kursi nomor satu di IBM-China, kemudian di Microsoft-China. Tahun lalu dia keluar dari Microsoft, lalu terbitlah buku karyanya yang menggemparkan China (Asian Wall Street pernah menurunkan berita gempar ini bulan Januari 2000). Saya sendiri belum baca bukunya, tapi dari berita koran yang saya baca, dia kritik habis-habisan mantan majikannya IBM dan Microsoft, dia membela rakyat China untuk menjiplak dan membajak software karena dia bilang IBM dan Microsoft terlalu rakus, mana mungkin rakyat yang gajinya tidak sampai $ 750/tahun mampu membeli komputer dan software asli...padahal rakyat China perlu belajar dan maju...dan bukankah sebagian software itu hasil jerih payah orang-orang pintar Chinese yang bekerja di IBM/Microsoft? Kemarin saya naik Taksi, lalu ngobrol dengan sopir taksi yang berumur 45 tahun। Dia punya satu anak laki-laiki berumur 13 tahun. Saya bilang, wah senang dong punya anak laki-laki di China. Eeeee, ternyata dia tidak gembira, dia bilang jaman sudah berubah, punya anak laki-laki sekarang dianggap rugi. Persepsi orang China sekarang adalah wanita akan lebih baik status dan penghasilannya dibandingkan anak laki-laki. Saya mulai mengerti mengapa toko- toko di China meriah dengan penjualan kosmetik dan baju-baju modis wanita...Dan tampaknya jumlah kaum wanita China lebih banyak dibadingkan lawan jenisnya. Ngomong-ngomong, saya lihat banyak sopir bus dan taksi yang wanita lho. Dan ngomong-ngomong lagi,tinggi rata-rata wanita China sekarang sudah lebih dari 160 cm, bahkan banyak gadis yang tingginya mencapai 172 cm. Diam-diam saya ukur-ukur mereka waktu ke diskotik Real Love dulu, sayapun hanya 176 cm. Makin tinggi badan makin tinggi status seseorang?...he॥he..
Demokrasi di China
Mungkin kurang fair kalau dunia luar menilai bahwa negeri ini tidak demokratis. Sistem satu partai mungkin tidak demokratis tapi tidak harus anti-demokrasi, demikian juga sistem banyak partai belum tentu sudah demokratis. Yang penting bagaimana sistem itu dapat mensejahterakan rakyat banyak dalam alam kehidupan yang adil, makmur, tentram dan nyaman. Tahun lalu kelompok olah raga pernapasan Fa-Lung- Gong dilarang dan pimpinannya jadi buronan (saat ini dia dilindungi di Amerika), dunia Barat gempar dan menuduh China tidak memperhatikan HAM. Menurut tuduhan resmi pemerintah China, kelompok ini sudah menjurus ke aliran anti-ilmiah dan banyak menipu rakyat. Mereka menyembah roh, bertahyul dan menolak dunia kedokteran. Saya tanya kiri-kanan orang lokal baik di kantor maupun di jalanan, apa pendapat mereka tentang Fa-Lung-Gong?, mereka rata-rata bilang bahwa bukankah sudah banyak ilmu pernapsan, Tai Chi, Wu Shu dan lain-lain, mengapa harus bikin kelompok tersendiri untuk kepentingan kelompok. Tai Chi bisa dipelajari di taman setiap pagi, gratis dan terbuka untuk siapa saja. Kesimpulan saya, sebagian besar orang lokal tidak suka atau tidak peduli dengan Fa-Lung-Gong. Hanya Amerika yang punya kepedulian 'khusus'...aneh sekali. Di Amerika, bukankah FBI juga melarang klan sejenis? Ingat peristiwa di Waco Texas, seluruh anggota gang terbakar (atau dibakar?) mati (sampai sekarangpun FBI masih berdebat membela diri...). Satu hal yang positif tentang sistem pemerintah otoriter adalah dalam perbaikan lingkungan, cepat dan efektif. Hanya diperlukan satu perintah dari pusat, maka bus kota, taksi dan kendaraan umum di China dalam waktu singkat menggantikan bensin/solar ke Bahan Bakar Gas (BBG). Dampaknya langsung terlihat dalam kualitas udara kota. Satu perintah lagi, maka dalam waktu satu tahun, jutaan pohon baru ditanam dan dipelihara. Saya hanya doakan, suatu saat turun perintah bahwa merokok dilarang di semua daratan China... Bandingkan di Los Angles, orang Amerika ingin tunjukkan demokrasinya, bedebat 10 tahun, belum juga mampu mengambil keputusan mau pakai BBG atau mobil listrik। Contoh lain, tentang HAM di Amerika, makin banyak siswa muda terbunuh oleh sejata api di Amerika. Beberapa minggu lalu kita dikagetkan lagi dengan berita anak berumur 6 tahun membunuh temannya sebaya di depan guru dan kawan-kawannya. Konyolnya Kongres Amerika masih saja bedebat bagaimana membuat senjata-canggih, bukannya melarang penjualan senjata pembunuh ini di umum...Definisi HAM untuk Senator dan HAM untuk orang tua anak gadis yang terbunuh itu tentu beda... Nanti, pada saat Kongres Amerika mengambil keputusan melarang penjulan senjata api seperti di negara-negara lain, ribuan anak sudah kehilangan nyawa di halaman sekolah. Inikah harga sebuah demokrasi?
Apakah kebebasan pers dijamin di China?
Sulit dijawab secara langsung. Tapi bila anda bisa membaca dan mengerti huruf Mandarin maka China adalah gudang dan surga buku & majalah (Nabi bilang, carilah ilmu sampai ke negeri China...). Bukunya murah-murah pula. Kecuali majalah Playboy dan sejenisnya, banyak majalah Barat (Metropolitan, ELLE, Fashion, PC World, dll..) dijual di stan pinggir jalan, dalam bahasa Mandarin tentunya (edisi Chinese). Majalah bulanan teknologi bidang teknologi-informasi ada lebih dari 30 jenis, mabok membacanya (karena saya masih bekerja keras belajar mambaca Mandarin). Majalah lokal bahkan sangat berani, file-file pengadilan korupsi misalnya dijilidkan dalam majalah bulanan 'Hukum dan Pengadilan'. Kritikan langsung dan tidak langsung terhadap kebijakan pemerintah tertulis jelas. Majalah sastra bukan main ragam dan jenisnya. Tiap kota mempunyai 5 atau 6 jenis majalah sastra. Cerita kehidupan desa, cerita kampus, cerita cinta, cerita suka-duka wanita, cerita masa lalu, khayalan masa depan...Luar biasa...Tidak ketinggalan buku sastra 'Sam-Kok', sastra 'Perjalanan Ke Barat' dan 'Hong Lo Men - Mimpi Rumah Merah'. Kata teman dari Solo, asyiknya baca buku sastra kalau pakai sarung, kaos oblong, duduk di tikar sambil minum kopi... CD, VCD dan DVD sangat populer. Harga CD musik rata-rata 10 Yuan ($1.2), kalau lagu-lagu Barat populer baru sekitar 60 Yuan ($7.5), semua resmi (mungkin juga aspal). Harga VCD sekitar 30 Yuan ($ 3.7), semuanya ada, dari cerita kuno, cerita silat, cerita perang pembebasan, film-film Rusia, sampai film-film Hollywood baru. Yang tidak boleh dijual adalah film horor/setan/hantu (karena ini anti-ilmiah) dan film porno. Tapi, film pendidikan seks boleh dan dijual bebas. Harga DVD sekitar 80 Yuan ($ 10). Kalau ada yang suka nonton film TV seri silat 'Tou-Lion-Tou', di sini dijual...satu set (20 VCD) cuma 120 yuan, asli lagi. Program TV-kabel seperti HBO, TNT, CNN, EPSN, CSPAN, BBC, TV Thailand, Jepang, Jerman, Hongkong, Perancis, M-TV, Fashion Channel, bahkan acara pengajian tiap pagi RCTI dan TVRI dapat dinikmati di hotel atau kita bisa langganan di rumah। Apa ini kurang bebas? Koran-koran tampaknya lebih sopan, masih kental dengan pesan-pesan pemerintah. Jangan harapkan ada berita yang bikin heboh tanpa bukti, seperti di Indonesia. Pers bebas yang bertanggung jawab kelihatannya diterapkan ketat sekali. Siapa tidak ketir kalau hukumannya tembak mati kalau menyebarkan rumor? Tapi berita tentang Indonesia banyak sekali dan umumnya positif. Gus Dur dan Wiranto populer di antara sopir-sopir taksi Shanghai. Begitu mereka tahu saya dari Indonesia, langsung topik bicara mengalih ke Gus Dur dan Wiranto. Kadang-kadang mereka tahu lebih banyak, misalnya Gus Dur itu waktu kecil suka main dadu/kelereng...(saya tahunya Gus Dur kecil suka naik pohon cari jambu...)
WTO
Begitu terbit berita China akan masuk WTO, dalam waktu sebulan sudah puluhan judul buku tentang WTO terpajang di pinggir jalan। Apa itu WTO, sejarahnya, apa segi positifnya, apa negatifnya. Buku-bukunya tebal-tebal dan murah. Yang mengarang buku juga bukan orang sembarangan, biasanya profesor ekonomi dari universitas ini dan itu....Tentu saja ada buku yang berbobot dan ada yang asal comot dan terjemahan dari internet. Tapi bukankah ini cara efektif mendidik rakyat sebelum suatu kebijakan penting diambil?. Bandingkan dengan Indonesia, sudah masuk WTO sejak 1996 pun, banyak mahasiswa UI masih bingung cari definisi WTO. Bahkan pernah ada yang manganggap mobil Mobnas Timor itu WTO....atau Tommy Soeharto itu boss WTO...Bahh॥
Kehidupan dan Kriminal
Pertumbuhan ekonomi rata-rata di atas 7% berturut-turut sepanjang 10 tahun lebih (bahkan saat Asia lagi krisis), mungkin hanya ada di China. Bila rakyat miskin, banyak yang susah; tapi bila rakyat mulai kaya, godaan kapitalis tidak terhindarkan. Korupsi dan segala penyakit sosial tidak terhindarkan. Tindakan maksimum yang bisa dilakukan pemerintah hanyalah mengendalikan, mengurangi dan mencegah, sama sekali tidak bisa menghilangkan dampak negatif kapitalis. Katanya, para pejabat tidak boleh menerima hadiah bernilai lebih dari 10% dari gaji bulanannya. Di atas itu dianggap menerima suap. Sesekali terdengar berita ada pejabat pemerintah dan militer yang diadili dan ditembak mati karena tuduhan korupsi atau KKN. Terakhir wakil Gubenur propinsi Shang-Xi ditembak mati karena terbukti korupsi US$ 650 ribu (bandingkan dengan kasus dugaan korupsi Ghalib di Indone-sia). Hebatnya (sakitnya) lagi, keluarga yang ditinggalkan masih dibebani oleh biaya penembakan. Harga satu peluru adalah 30 sen. Biasanya dalam mayat terpidana bisa ditemukan lebih dari satu peluru karena ditembaki oleh satu regu penembak. Dengan sistem hukum yang demikian 'kejam'nya pun kejahatan hanya bisa dibendung, tidak bisa dibasmi habis. Minggu lalu, saya naik taksi, dikembalikan uang pecahan 50 Yuan, ternyata uang palsu... Kemarin diberitakan bahwa kecanduan narkoba di China meningkat 14% dibandingkan tahun 1998। Ada 568,000 orang yang kecanduan narkoba. (mengapa risau? bukankah penduduk China ada 1,3 milyar...) Mungkin perlu satu perintah lagi, bahwa bukan hanya pengedar, tapi pengguna narkobapun yang bisa ditembak mati.... Angka kriminal di Shanghai termasuk yang pal-ing rendah di China sampai saat ini. Penduduknya ada yang bilang 19 juta tapi ada yang bilang 14 juta, yang jelas orangnya banyak sekali. Walaupun demikian jalan-jalan tidak macet. Gedung-gedung pencakar langit tak terhitung, malah mereka memiliki gedung tertinggi ke 2, 3 dan ke 4 di Asia. Saya belum pernah berjumpa dengan pengemis (entah dilarang atau memang tidak ada?). Saya perhatikan manusia Shanghai di jalanan, di toko dan di kantor, hampir semuanya ceria, anak-anak montok berpipi merah mungkin kegemukan atau karena udara dingin, yang jelas mereka happy dan hidup nyaman. Tampaknya.
Teknolgi & Ilmu Pengetahuan
Kalau tidak ada hal-hal aneh yang menghalang (seperti isu perang Taiwan yang lagi hangat misalnya), rencananya bulan Oktober nanti China akan mengirim astornot lokal dalam roket lokal buatan sendiri। Kalau berhasil ini tentu prestasi luar biasa. Sejauh ini hanya ada dua negara yang menguasai teknologi ruang-angkasa secara utuh, Rusia dan Amerika. Saya harap China mau mengundang mantan mensitek BJ Habibie untuk nonton peluncuran itu, karena Habibie selalu menganggap dirinya lebih pintar daripada ilmuwan China. Saya ingat dalam wawancara TVRI tahun 1996, Habibie dengan mata melotot pernah ngotot bahwa IPTN lebih maju 20 tahun dibandingkan China. Dalam bidang pengembangan perangkat lunak, mungkin China adalah satu-satunya negara di luar negara-negara maju yang mampu membikin sendiri COS (Chip Operating System) untuk mobile telecommunication. Kita di Schlumberger perlu ber-tahun-tahun untuk mengembangkan COS, tapi mereka cuma memerlukan 6 bulan. Apa mereka mencuri teknologi? Waduh, jangan sembarang menuduh, bisa ditembak nanti...
Akhir Catatan Perjalanan-2:
Sebelum mengakhiri catatan perjalanan ini, saya mau menceritakan pengalaman 11 tahun yang lalu. Tanggal 12 Juni 1989, saya tiba di kota Melbourne Australia untuk urusan dinas. Waktu itu peristiwa Tien-An-Men baru meletus, dunia gempar dengan kesadisan tentara China terhadap mahasiswa yang menuntut demokrasi di lapangan Tien-An-Men. Dalam perjalanan dari Bandara, saya ngobrol dengan sopir taksi orang Australia tulen. Saya tanya pandangannya terhadap peristiwa berdarah itu. Dia tidak pernah ke China tapi suka makanan Chinese. Jawabannya sungguh di luar harapan saya. Dia mendukung 100% tindakan pemerintah dan militer China terhadap mahasiswa!! Dia bilang, pemerintah China terlalu baik hati, membiarkan lapangan Tien-An- Men diduduki oleh mahasiswa selama 3 bulan. Pusat kegiatan pemerintah dikotori, tidak dihormati,...Dia ternyata mengikuti dengan baik seluruh proses peristiwa itu melalui TV , koran dan radio. Kalau hal ini terjadi di gedung parlemen Australia, dia percaya polisi dan pemerintah Australia tidak akan membiarkan juga, apalagi sampai 3 bulan... Lalu bagaimana terhadap mahasiswa yang mati...? Dia bilang, kalau mahasiswa sudah disuruh bubar berkali-kali masih membandel, lalu mau diapakan lagi?...Yang mati belum tentu mahasiswa, mungkin provokator,..Buktinya mereka tidak mendapat dukungan rakyat......Yang ribut-ribut itu dunia Barat....dia ngoceh terus... Saya kaget, karena selama ini selalu menganggap orang Australia seperti katak dalam tempurung, tidak peduli terhadap politik...ternyata ada juga yang lain, sopir taxi lagi... 10 tahun setelah peristiwa Tien-An-Men, China tidak terpecah belah seperti Rusia (atau Indo-nesia). Ekonomi tumbuh pesat, rakyat mulai makmur, Hongkong, Macau bersatu kembali, sebentar lagi Taiwan (??), tidak ada perang etnis, agama. Tidak ada lagi darah mengalir percuma... Mungkin sopir Taksi Australia itu ada benarnya...Inilah demokrasi model China ...Inikah negeri rekomendasi Nabi?.. Kita jumpa lagi nanti ... Semoga tidak bosan membaca.(AH)