anak bangsa berbagi cerita

Blog ini adalah blog bagi kita yang ingin berbagi cerita....khusus blog ini tidak menerima cerita yang bernuansa pornografi...ini blog yg khusus menceritakan kehidupan kita sehari-hari...

Kamis, 05 Juli 2007

Cerita tentang Teologi Pembebasan

PERIHAL TEOLOGI PEMBEBASAN

Pengantar
Berbicara tentang teologi pembebasan dalam diskusi-diskusi resmi atau tak resmi memang terasa problematik. Seringkali diskusi seperti ini dicurigai sebagai gerakan pemikiran kekiri-kirian yang diasosiasikan dengan pendukung “komunisme” atau dianggap menyebarkan pemikiran subversif. (khususnya pada era Orde Baru lalu). Setelah Orba jatuh dan kebebasan berpikir mulai terbuka diskusi semacam ini juga dianggap tabu dan dipandang dengan mata sinis oleh sebagian kalangan.
Rupanya persepsi itu disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, adanya kesalahpahaman mengenai term teologi pembebasan (liberation theology) itu sendiri. Kedua, karena teologi pembebasan adalah terminologi yang lahir dari tradisi Kristiani, khususnya di Amerika Latin, dan tidak pernah dikenal secara eksplisit dalam khazanah pemikiran Islam. Dan ketiga, karena teologi pembebasan sedikit banyak diinspirasikan oleh ideologi kiri dari pemikiran Marxisme yang dalam sejarah perpolitikan Indonesia dianggap memiliki cacat yang tak termaafkan setelah peristiwa G 30 S.
Tulisan reflektif ini dimaksudkan untuk sedikitnya mengklarifikasikan asumsi-asumsi yang menjadi keberatan berbagai kalangan terhadap wacana teologi pembebasan. Dan untuk tujuan ini saya berusaha menyelami sejarah sekaligus menemukan makna dan signifikansi teologi pembebasan bagi pemahaman keagamaan kita ke arah pengertian yang lebih transformatif, rasional dan fungsional.

2. Teologi Pembebasan, Apa Itu?
Pada mulanya istilah “teologi pembebasan” atau liberation theology diperkenalkan oleh para teolog Katolik di Amerika Latin pada pertengahan abad lalu. Para teolog ini mau membedakan antara metode teologi pembebasan dengan teologi tradisional. Teologi tradisional adalah teologi yang membahas tentang Tuhan semata-mata, sementara teologi pembebasan adalah cara berteologi yang berasal dari refleksi iman di tengah realitas konkrit yang menyejarah. Yakni teologi yang memprihatini nasib dan solider kepada mereka yang menderita ketidakadilan, kalah, miskin, ditindas dan menjadi korban sejarah; teologi yang mau mentransformasikan dunia. Atau dalam ungkapan Gustavo Gutierrez:
“This is a theology which does not stop with reflecting on the world, but rather tries to be part of the process through which the world is transformed. It is theology which is open in the protest against trampled human dignity, in the struggle against the plunder of the vast majority of humankind, in liberating love, and in the building of a new, just, and comradely society—to the gift of the Kingdom of God”.
(Ini [teologi pembebasan] adalah sebuah teologi yang tidak hanya merefleksikan dunia, melainkan juga mencoba melakukan proses transformasi terhadapnya. Ia [teologi pembebasan] adalah teologi yang berupaya untuk melawan pelecehan terhadap martabat manusia, melawan perampasan oleh mayoritas, berupaya untuk membebaskan cinta dan membangun suatu masyarakat baru yang adil dan penuh persaudaraan – untuk meraih rahmat dari Kerajaan Tuhan”).(Alfred T. Hennelly, SJ, 1995: 16)
Ada banyak macam penamaan yang secara subtansial amat dekat dengan gagasan teologi pembebasan ini, diantaranya: teologi pemerdekaan (Romo Mangun), teologi Kiri (Kiri Islam ala Hassan Hanafi), teologi kaum mustadh’afin, teologi kaum tertindas, dan lain-lainnya. Masing-masing penamaan ini hendak mengartikulasikan suatu cara beragama yang otentik, yang lahir dari situasi, sejarah dan keprihatinan atas penderitaan kaum miskin dan tertindas.
Oleh karena itu dengan pengertian tersebut jelas sekali teologi pembebasan sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan “bebas semau gue” atau sikap permisif sebagaimana yang sudah disalahpahami. Anggapan seperti itu tentu saja salah alamat dan menunjukkan kebodohan saja. Untuk lebih jelas mengenai karakter dan jalan yang ditempuh teologi pembebasan, mari sejenak melihat teologi pembebasan Amerika Latin.

Belajar dari Teologi Pembebasan Amerika Latin
Teologi pembebasan di Amerika Latin merupakan sebuah entitas gerakan sekaligus juga doktrin. Gerakan ini muncul karena perpaduan dari perubahan-perubahan internal dan eksternal. Secara internal gerakan ini muncul berbarengan dengan perkembangan aliran-aliran teologis dan keterbukaan terhadap perkembangan sains sosial modern. Sementara secara eksternal ia didorong oleh dua situasi: pertama adalah keterbelakangan, ketergantungan, keterpinggiranm ketertindasan dan kemiskinan yang diakibatkan oleh proses industrialisasi sejak tahun 1950-an di seluruh benua di bawah arahan modal multinasional; dan kedua meningkatnya perjuangan sosial, gerakan-gerakan gerilya, pergantian pemerintah melalui kudeta militer dan krisis keabsahan sistem politik, sejak meletusnya revolusi Kuba tahun 1959.
Gerakan teologi pembebasan ini melibatkan sektor-sektor penting gereja (para romo, pengamal tarekat atau ordo-ordo, para uskup), gerakan keagamaan orang awam, keterlibatan pastoral yang merakyat serta kelompok-kelompok basis masyarakat gereja yang menghimpun diri menentang sebab-sebab penghisapan dan penindasan, atas dasar nalar moral dan kerohanian yang diilhami oleh budaya keagamaan mereka. Dorongan moral dan keagamaan inilah yang merupakan faktor hakiki yang menggerakkan semangat ribuan aktifis dalam serikat-serikat buruh, kerukunan-kerukunan tetangga, dan front-front kerakyatan untuk melawan penindasan dan kemiskinan.
Adapun doktrin atau ajaran-ajaran penting yang menggerakkan mereka di antaranya adalah: pertama, gugatan moral dan sosial yang amat keras terhadap ketergantungan pada kapitalisme sebagai suatu sistem yang tidak adil dan tidak beradab, sebagai suatu bentuk dosa struktural. Kedua, penggunaan alat analisis Marxisme dalam rangka memahami sebab musabab kemiskinan, pertentangan-pertentangan dalam tubuh kapitalisme dan bentuk-bentuk perjuangan kelas. Ketiga, pilihan khusus bagi kaum miskin dan kesetiakawanan terhadap perjuangan mereka menuntut kebebasan. Keempat, pengembangan basis kelompok-kelompok masyarakat agama di kalangan orang-orang miskin sebagai suatu bentuk baru keagamaan dan alternatif terhadap cara hidup individualis yang dipaksakan oleh sistem kapitalis. Kelima, suatu penafsiran baru Kitab Suci yang memberikan perhatian penting pada bagian-bagian yang mengusung paradigma perjuangan pembebasan rakyat yang diperbudak. Keenam, perlawanan terhadap permberhalaan sebagai musuh utama agama, yakni berhala-berhala baru: uang, kekayaan, kekuasaan, keamanan nasional, negara, militerisme, peradaban Barat. Ketujuh, sejarah pembebasan manusia adalah antisipasi akhir dari Keselamatan. Dan kedelapan, kecaman terhadap teologi tradisional yang bercorak platonik yang memisahkan antara sejarah kemanusiaan dan ketuhanan (Michel Lowy, 1999: 25-30).
Dari susunan doktrin teologi pembebasan di atas nampak jelas sekali bahwa gerakan tersebut tidak semata-mata diilhami oleh spirit moral dan keagamaan, melainkan juga oleh keterbukaan para pemrakarsa dan aktivisnya terhadap pemikiran-pemikiran filsafat dan ilmu-ilmu sosial modern, khususnya Marxisme. Rupanya karena itulah dalam perjalanannya model teologi pembebasan ini juga banyak menerima kritik bahkan cemoohan dan tentangan dari berbagai kalangan. Di antara para pengkritik sendiri adalah para agamawan konservatif yang masih mempertahankan ortodoksi. Mereka pada umumnya berada, berlindung dan mengambil untung dari kekuasaan yang ada yang justeru lalim dan menindas, dan untuk itu mereka menggunakan dalil-dalil keagamaan untuk mempertahankan status quo. Para pengkritik lain menganggap teologi pembebasan cenderung menggunakan jalan kekerasan sebagai alat perlawanan. Hal ini dipandang berkebalikan dengan nilai agama yang membawa pesan cinta kasih dan perdamaian.
Teologi pembebasan tentu sangat berbeda dengan pandangan teologis kaum konservatif di atas yang menggunakan agama sebagai instrumen status quo. Kaum konservatif telah memperlakukan “agama sebagai candu” untuk mencapai kenikmatan sesaat, seraya mengabaikan panggilan profetik kenabian yang bersolidaritas terhadap kaum miskin dan tertindas. Di tangan kaum konservatif ini pulalah energi agama yang sesungguhnya menjadi kekuatan untuk melawan kezaliman, ketidakadilan dan penindasan menjadi susut dan akhirnya musnah.
Konservatisme biasanya juga selalu berkarakter sempit dalam cara berpikir dan tertutup dalam wawasan. Mereka menolak keterbukaan karena dianggap mengurangi kadar keimanannya. Sehingga dalam beberapa kesempatan mereka menolak teologi pembebasan yang telah memakai analisis kelas yang dikembangkan Marxisme. Bagi mereka konflik kelas dalam Marxisme telah menyebabkan agama telah kehilangan watak spiritualitasnya sekaligus menjadi sekadar gerakan sosial yang kerap diperjuangkan dengan cara-cara kekerasan.
Oleh pandangan-pandangan yang sempit inilah, lalu dalam setiap wacana dan gerakannya teologi pembebasan banyak disalahpahami dan dicibir. Bukannya menjadi sarana belajar dan refleksi kritis atas praksis untuk memperkaya pemahaman keagamaan yang sudah usang.
Ada beberapa tokoh atau teolog di Amerika Latin yang mulai membangun dan merumuskan teologi pembebasan. Di antara mereka yang berpengaruh dan sedikit disinggung di sini adalah Gustavo Gutierrez dan Joan Luis Segundo. Gutierrez dalam bukunya berjudul A Theology of Liberation menyatakan:
“If faith is a comitment to God and to human beings, it is not possible to believe in today’s world without a comitment to the process of liberation”.
(Bila iman adalah suatu komitmen kepada Allah dan umat manusia, maka mustahil keberimanan kita pada hari ini mengabaikan komitmen kepada proses pembebasan umat manusia (dari segala kemiskinan dan penindasan) (Alfred T. Hannelly, 1995: 11).
Di sini jelas bagi Gutierrez bahwa pembelaan terhadap kaum miskin dan perlawanan terhadap para penindas sesungguhnya adalah konsekuensi dari iman seseorang kepada Allah. Iman seseorang tidak bermakna apapun tanpa keterlibatan dirinya dalam praksis sosial dan sejarah. Karena bagi Gutieres, makna teologi itu sendiri sebenarnya adalah suatu refleksi kritis terhadap praksis dalam terang Kitab Suci. Oleh karena itu pula makna spiritualitas selalu terkait langsung dengan tindakan.
Gutierrez menunjukkan tiga karakteristik teologi pembebasan (Alfred T. Hannelly, 1995: 12). Pertama, teologi pembebasan adalah pemahaman yang progresif dan terus menerus atas dasar komitmen kemanusiaan dan keberimanan yang selalu hidup. Oleh karena itu teologi sesungguhnya adalah praksis pembebasan dari belenggu ekonomi, sosial, politik, dan dari sistem masyarakat yang mengingkari kemanusiaan dan dari kedosaan yang merusak hubungan manusia dengan Allah. Kedua, teologi adalah sebuah refleksi yang lahir dari tindakan. Gutierrez menulis dalam sebuah paragraf yang cantik:
“Theology is a reflection— that is, a second act, a turning back, a reflecting, that comes after action. Theology is not first; the commitment is first. Theology is the understanding of commitment, and the commitment is action. The central action is charity, which involves commitment, while theology arrives later on”.
(Teologi adalah sebuah refleksi, yakni suatu tindakan kedua, suatu gerak balik, sebuah perefleksian yang dilakukan setelah bertindak. Jadi bukan teologi, melainkan komitmenlah yang pertama. Teologi adalah hasil pemahaman dari komitmen, dan komitmen itu adalah kesediaan untuk bertindak. Inti tindakan adalah kemurahan hati yang disertai komitmen, setelah itu baru teologi hadir)
Oleh karena itu teologi harus menjadi kritis ketika berhadapan dengan masyarakat maupun terhadap institusi keagamaan. Ia harus menjadi pembebas bagi kedua institusi sosial itu dari berbagai macam ideologi, keberhalaan dan alienasi. Sehingga teologi itu sendiri pada akhirnya akan memberikan orientasi dan inspirasi bagi aksi tindakan selanjutnya. Inilah yang disebut dengan keberimanan dalam praksis sejarah, keberimanan yang transformatif. Dan ketiga, setiap tindakan kita harus disertai dengan refleksi untuk memberi orientasi masa depan yang diyakini dan diharapkan dan koherensi agar ia tidak jatuh pada aktivisme.
Meskipun Gutierrez telah memberikan ancangan rumusan metode teologi pembebasan, baru kemudian Juan Luis Segundo yang berhasil mensistematisasi rumusan metodologi teologi pembebasan. Sistematisasi inilah yang nantinya menjadi acuan berbagai metode “teologi-teologi pembebasan” (liberation theologies) lainnya di dunia.
Dalam salah satu tulisannya “Two Theologies of Liberations”, ada pernyataan menarik dari Segundo yang dikutip oleh Michel Lowy (Michel Lowy, 1999). Ia menyatakan, “Jangan lupa kita hidup di tanah-tanah yang paling agamis dan di tanah-tanah yang paling tidak berprikemanusiaan”. Pernyataan ini tampaknya menyembunyikan tapi sekaligus menyingkap suatu ironi. Bagaimana mungkin penindasan justeru terjadi dalam masyarakat yang mayoritas beragama yang meyakini bahwa ajaran agamanya melawan ketidakadilan dan penindasan. Mengapa tidak ada protes atau perlawanan atas kondisi ini dari pihak kaum agamawan? Apakah kaum agamawan buta atau membutakan diri terhadap situasi yang ada?
Segundo menyadari bahwa ketidakmampuan mengambil sikap yang diperlihatkan para agamawan itu disebabkan ketidakmampuannya melihat persoalan sosial dan menganalisis struktur-struktur penindasan yang ada. Bukan hanya itu, berlanjutnya penindasan karena agama mengalami impotensi karena pemahaman terhadap teologi dan kitab suci didominasi oleh tafsir yang justeru tidak sensitif terhadap persoalan masyarakat tertindas. Oleh karena itu menurutnya perlu dilakukan deideologisasi terhadap realitas sosial dan superstruktur serta deideologisasi terhadap interpretasi kitab suci, agar iman kita bisa merespon situasi konkrit penindasan dan ikut berjuang bersama-sama kaum tertindas melawan para penindas.
Kebekuan agamawan dalam merespon situasi konkrit ini mendorong Segundo untuk menawarkan metode berteologi yang bukan hanya sebagai usaha “ortodoksi” tapi juga suatu “ortopraksis”. Yang dimaksud adalah bahwa berteologi bukan hanya untuk memperteguh dan memantapkan ajaran, tapi juga menjadikan pengalaman konkrit sebagai basis menerapkan sebuah rumusan ajaran. Segundo merumuskan hal ini dalam suatu bentuk “lingkaran hermeneutik”. Apakah yang dimaksud dengan “lingkaran hermeneutik”?
“Hermeneutika” adalah proses interpretasi untuk membuat pesan kitab suci relevan dengan zamannya, sedangkan “lingkaran” menunjukkan bahwa usaha interpretasi itu bertitik tolak pada realitas baru yang lalu menuntut kita menginterpretasikan ajaran kitab suci secara baru pula dalam rangka mengubah realitas sebagaimana dituntutkan, dan akhirnya kembali kepada usaha menginterpretasikan kembali firman Allah, dan seterusnya. Menurut Segundo, lingkaran hermeneutik bisa berlangsung dengan dua syarat: pertama, kesangsian-kesangsian atas situasi nyata sungguh-sungguh dalam memperkaya, dan kedua, interpretasi atas kitab suci juga bersifat sungguh-sungguh dalam dan memperkaya (Fr. Wahono Nitiprawiro, 2000: 36-37).
Dalam lingkaran hermeneutik ini sang penafsir dituntut untuk terus menerus melakukan kritik terhadap realitas yang ada sekaligus mengkritik pula pemahaman teologis terhadap realitas tersebut, dan lalu menafsirkannya kembali demi perubahan realitas tersebut. Dengan kata lain, di belakang kritik tersebut sesungguhnya kita selalu dituntut untuk selalu “mencurigai” suatu tafsir. Atau mencurigai status iman seseorang kepada siapa dia mengabdikan imannya. Pengandaiannya adalah bahwa iman itu sendiri bersifat ideologis karena ia lahir dari tanggapan yang menyejarah dan subjektif terhadap wahyu Allah. Oleh karena itu praksis iman seseorang harus senantiasa diberi kritik dengan selalu membenturkannya dengan realitas konkrit. Baru dengan begitu, makna keberimanan seseorang akan membawa transformasi bagi kehidupan ke arah yang lebih baik.

Dari model “lingkaran hermeneutika” di atas tampak ada 4 langkah penafsiran yang diajukan Segundo (Fr. Wahono Nitiprawiro, 2000: 36-37; Alfred T. Hannelly, 1999: 28). Langkah itu bisa diuraikan sebagai berikut:
Langkah pertama: cara kita mengalami “realitas yang terumuskan” mendorong kita pada posisi “kecurigaan ideologis”. Pada tahap ini, dalam pengamatan Segundo, Harvey Cox dalam bukunya The Secular City (1966) gagal memasuki kesangsian ideologis karena ia bersikap anti pragmatisme sosial. Cox terlalu sibuk pada langkah pertama yakni cara yang kaya dan mendalam mengalami realitas, dia hanya menyangsikan cara lama mengalami realitas yang bertumpu pada kaidah-kaidah nilai kemanusiaan tertinggi, dan mengajukan alternatif cara baru mengalami realitas yang menjunjung tinggi nilai-nilai efisiensi teknologis tanpa menelisik kepentingan ideologis di balik realitas itu.
Langkah kedua: menerapkan “kecurigaan ideologis” pada seluruh superstruktur ideologis dan khususnya pada teologi. Dalam konteks ini, menurut Segundo, Marx sukses membongkar ideologi dalam masyarakat, tapi gagal membangun transformasi dalam agama, bahkan tidak menyentuh sedikitpun.
Marx sukses pada langkah pertama mengalami realitas sejarah sebagai perjuangan kelas. Ia juga memiliki komitmen mentranformasikan dunia dalam konsepnya tentang “materialisme sejarah”, yakni sebuah patokan bahwa basis hubungan sosial ekonomi menentukan superstruktur ideologi, budaya dan agama. Oleh karena itu dalam rangka menghilangkan cengkeraman penguasa borjuis, hubungan sosial ekonomi itu harus diubah dari feodalisme ke kapitalisme, dari kapitalisme ke sosialisme yang akhirnya ke komunisme. Letak kesangsian ideologis Marx adalah keyakinannya bahwa ideologi yang berkuasa selalu merupakan ideologi dari kelas yang sedang berkuasa. Namun sayangnya komitmen transformasi masyarakat Marx berhenti, ia tidak melanjutkan logikanya mengubah superstruktur untuk pula mengubah agama (sebagai salah satu unsur superstruktur).
Langkah ketiga: Dari cara baru mengalami realitas teologis mendorong kita pada “kecurigaan eksegesis”. Kita mulai mengangsikan interpretasi Kitab Suci yang ada karena tidak mengikutsertakan data yang penting. Menurut Segundo, Max Weber dalam The Protestant Ethic and the spirit of Capitalism (1904-1905) sukses melihat peranan agama. Weber secara sosio-psiko-historis berhasil mencari peranan superstruktur (agama, etika protestan) terhadap hubungan sosial ekonomi (gairah usaha untuk memperoleh untung, kerja keras, berhemat, menabung dan menumpuk harta—spirit kapitalisme). Tapi sebagai seorang Calvinis ia tidak memiliki komitmen terhadap transformasi masyarakat.
Langkah keempat: kita mencapai hermeneutika baru dengan menginterpretasikan Kitab Suci secara baru, lebih kaya dan mendalam. Dengan demikian kita juga mengalami realitas secara baru pula. Menurut Segundo, James H. Cone adalah seorang teolog asal Arkansas, negara bagian Amerika Serikat yang dengan komitmennya terhadap transformasi pembebasan manusia berhasil melalui tahap-tahap penafsiran teologi pembebasan dalam praksis sosial melalui karyanya A Black Theology of Liberation (1970).
Cone merumuskan teologi pembebasan kulit hitam dalam rangka memberikan acuan teologis dan praktis untuk pembebasan warga kulit hitam yang miskin, tertindas, dan terdiskriminasi. Ia bertolak dari praksis iman yang dialaminya yakni pembebasan kelas kulit hitam di Amerika Utara, yang ditindas oleh kelas kulit putih lengkap dengan ideologi dan teologi pembenaran status quo-nya yang menindas.
Cone mepresentasikan Black Theology­-nya ke dalam 4 langkah. Langkah pertama Cone mengalami realitas di Amerika Utara sebagai perjuangan pembebasan kelas kulit hitam dan makna ketuhanannya dihubungkan dengan solidaritas dengan mereka yang dibelenggu penindasan. Langkah kedua setelah melakukan analisis sosial untuk membongkar sistem-sistem dominasi, seperti rasisme, seksisme, kolonialisme, kapitalisme dan militerisme, Cone sampai pada kecurigaan ideologis terhadap pendapat kelas kulit putih bahwa warna kulit jangan dijadikan titik perbedaan demi kesatuan dan universalitas manusia. Langkah ketiga Cone mengalami kecurigaan eksegesis terhadap cara berteologi kelas kulit putih yang berpusat pada universalitas konteks, yang menutup kemungkinan mendekati Kristus yang terikat dengan kebudayaan tertentu. Dalam hal ini Cone berupaya menafsirkan kembali pesan-pesan Kitab Suci yang sudah didistorsi dan menjadikan Allah menjadi spirit pemberdayaan masyarakat agar lebih manusiawi. Terakhir Cone menekankan cara baru yang kaya dan mendalam mengalami Kitab Suci sebagai wahyu yang relevan bagi perjuangan kelas kulit hitam untuk pembebasan zaman kita sekarang. Termasuk juga disini kebutuhan terhadap bahasa teologi baru yang hadir di dalam cerita-cerita, dongeng-dongeng, nyanyian, kotbah, dan ajaran-ajaran yang lebih bernada membebaskan.
Dari uraian di atas, tampak sekali bahwa Cone benar-benar merumuskan model cara beragama sekaligus penghayatan iman secara baru. Yakni iman yang diterangi oleh Kitab Suci yang senantiasa berdialog dengan realitas. Hal ini juga menunjukkan bahwa teologi pembebasan bukanlah semacam teologi yang sempit, kolot, dan tertutup yang hanya terkesima oleh warisan masa lalu. Melainkan teologi yang selalu berdialog dengan realitas yang membuatnya selalu relevan bagi pemeluknya.
Cara berteologi yang demikian itu menyadari betul bahwa iman sendiri sesungguhnya adalah refleksi individual atau penghayatan terhadap Firman Allah dalam situasi konkrit dan menyejarah. Dengan demikian, berteologi semacam ini sungguh-sungguh akan mendorong untuk lebih bersikap dewasa dan terbuka kepada realitas dan perkembangan pengetahuan yang bisa menjadi bahan untuk memperkaya keberagamaan kita, terutama dalam mengambil sikap terhadap realitas sejarah yang selalu bergerak dinamis.

4. Teologi Pembebasan Islam, Adakah?
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, pertama-tama kita perlu mengetahui kenyataan bahwa gema teologi pembebasan sejak lahirnya pada tahun 50-an dan 60-an abad lalu telah menjadi inspirasi berharga bagi perkembangan teologi-teologi pembebasan lainnya. Di Amerika Utara misalnya ada teologi pembebasan feminis yang digerakkan oleh beberapa tokoh berpengaruh, misalnya: Elizabeth Schussler Fiorenza, Rosemary Radford Ruether, Elizabeth Johnson, Jacquelyn Grant, dan lain-lain; lalu teologi kulit hitam dengan tokoh-tokohnya, seperti James H. Cone, Martin Luther King, Jr, Malcolm X., dan Delores S. Williams; ada teologi pembebasan Hispanik dengan tokoh-tokohnya Allan Figueroa Deck, dan Mujesrista Theology; ada teologi pembebasan Afrika dengan tokoh-tokohnya Benezit Bujo, Mercy Amba Oduyoye; dan tak ketinggalan teologi pembebasan Asia dengan beberapa tokohnya Aloysius Pieris, Raimundo Panikkar, dan Chung Hyun Kyung.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa semangat dan prinsip teologi pembebasan bisa tumbuh di manapun dan dalam kebudayaan apapun ketika sistem dan struktur sosial dalam masyarakat berjalan timpang, diwarnai dengan kemiskinan, ketidakadilan, diskriminasi, serta adegan penindasan kelompok satu atas kelompok lainnya. Munculnya spirit pembebasan ini didorong oleh dua kecenderungan.
Pertama, dalam diri manusia sebenarnya menyimpan potensi fitrah, yakni kesadaran akan kemerdekaan diri. Potensi itu akan dirasakan dan tampak manakala manusia merealisasikan kebebasan dirinya dalam tindakan-tindakan konkrit. Ketika manusia merasakan dirinya tertekan oleh beban penindasan maka dalam dirinya muncul resistensi dan kehendak untuk membebaskan diri.
Kedua, dalam sebuah komunitas tertentu kesadaran pembebasan itu sudah ada dan tumbuh (minimal secara potensial) dalam tradisi budaya atau dalam dunia simbolik yang diyakini kebenarannya secara kolektif. Misalnya dalam dongeng, cerita sejarah, mitos, atau dalam teks-teks Kitab Suci. Fakta mengenai tumbuh suburnya ragam gerakan pembebasan di Asia dan Afrika di atas menunjukkan sekali lagi bahwa ia tidak sekadar dipengaruhi oleh faktor eksternal, tetapi juga faktor internal dalam budaya itu sendiri.
Oleh karena itu jika teologi pembebasan bisa tumbuh di berbagai kebudayaan, maka berdasarkan kedua hal tersebut di atas jawaban mengenai ada-tidaknya teologi pembebasan dalam Islam tampaknya bisa diperoleh pula. Pertama berdasarkan kesadaran internal umat Islam yang berkehendak mencari pembebasan dan melakukan transformasi sosial, dan kedua itu dilakukan melalui reinterpretasi terhadap sejarah dan kebudayaan umat Islam atau dengan melakukan rekonstruksi atas pesan-pesan normatif pembebasan dalam Islam sendiri.
Michael Amaladoss membuat penelitian yang sangat menarik mengenai berbagai bentuk teologi pembebasan, khususnya di Asia. Setelah mengkaji berbagai potensi dan watak pembebasan dalam agama-agama di Asia yang meliputi: agama Hindu, Buddha, Konghucu, Kristiani, Islam dan agama-agama Kosmis, Amaladoss menyimpulkan bahwa berbagai teologi tersebut menunjukkan bahwa semua agama memiliki segi-segi yang membebaskan, dan para nabi telah berusaha menyoroti unsur-unsur yang membebaskan itu dalam menafsirkan kembali tradisi agama mereka secara kreatif dan relevan (Michael Amaladoss, 2000: 270).
Adapun untuk mengetahui lebih lanjut secara diskursif wacana pembebasan dalam Islam, dalam bagian berikutnya kita akan melihat sekilas beberapa sarjana muslim seperti Ali Syariati, Asghar Ali Engeneer dan tentu saja Hasan Hanafi, yang telah mengangkat elemen-elemen pembebasan dalam Islam baik melalui pendekatan tekstual maupun pendekatan rekonstruksi simbolis dalam sejarah Islam.

5. Ali Syariati dan Humanisme Islam
Ali Syariati adalah seorang sarjana muslim yang disebut-sebut sebagai seorang ideolog revolusi Islam di Iran. Ia melahap habis pemikiran filsafat dan ilmu-ilmu sosial modern, dan secara cerdik menggunakan hazanah tersebut secara kritis untuk menganalisis kondisi sosial politik umat Islam. Usaha besar Syariati terletak pada upayanya untuk membeberkan kekhususan ideologi dan kebudayaan Islam, yang dengan demikian menunjukkan terdapat beberapa asas pokok pembebasan dalam agama Islam.
Ali Syariati menganalisis bahwa sesungguhnya dalam diri manusia terdapat nilai-nilai humanisme sejati yang bersifat ilahiyah sebagai warisan budaya moral dan keagamaan. Manusia adalah makhluk yang sadar-diri, dapat membuat pilihan-pilihan dan dapat menciptakan, sehingga di sepanjang sejarah umat manusia berusaha merealisasikan nilai-nilai humanisme tersebut meski yang didapatinya adalah kegetiran dan petaka saat melawan kekuasaan jahat dan penindas. Mengenai hal ini Syariati menyajikan tokoh-tokoh simbolik Kain dan Habel untuk menjelaskan dan menganalisis sejarah kekuasaan.
Menurut Qur’an Kain dan Habel mempersembahkan kurban kepada Allah. Hanyak kurban Habel yang diterima, sementara Kain, karena iri hati, membunuh Habel. Kain adalah petani dan Habel adalah gembala. Syariati melihat hal ini sebagai munculnya monopoli produksi pertanian dan hak milik pribadi yang menyebabkan munculnya ketidaksamaan ekonomis dan adanya dominasi kekuasaan. Dalam pandangan Syariati figur simbolis Kain dan Habel ini hadir di tengah sejarah kita dalam tiga bidang: uang, kekuasaan dan agama. Fir’aun adalah tokoh simbolis yang melambangkan kekuasaan, Croesus melambangkan kekayaan, dan Balaam memerankan kaum rohaniawan dan agamawan yang memonopoli agama sebagai sistem upacara ritual. Ketiganya tak henti-hentinya berkolaborasi satu sama lain dalam membangun dan melestarikan kecenderungan sejarah.
Di abad Pertengahan, manusia dikurung oleh Gereja Abad Pertengahan dan sistem teokrasi yang menindas, lalu di abad Modern yang menjunjung tinggi asas liberalisme manusia dijanjikan demokrasi sebagai kunci pembebasan namun yang didapatinya adalah teokrasi baru di tangan kapitalisme. Demikian juga komunisme yang menjanjikan persamaan dan kesetaraan ternyata menghasilkan fanatisme kekuasaan yang sama mengerikannya dengan Gereja Pertengahan. Di sisi lain kapitalisme telah menjadi imperialisme dan terus berkembang menjadi sebuah sistem yang mendominasi ekonomi dan kebudayaan negara-negara dunia ketiga. Kapitalisme telah menciptakan kebudayaan materialis yang seragam dan dalam proses melucuti akar-akar kebudayaan dan keagamaan rakyat, melucuti jati diri dan kemanusiaan mereka sehingga menjadi objek-objek yang mudah dieksploitasi. Dan celakanya dominasi budaya Barat ini dilestarikan secara sukarela oleh para intelektual setempat tanpa memahami hakikat baru penjajahan atas negara-negara dunia ketiga ini.
Dalam pandangan Ali Syariati semua ideologi dunia ini telah gagal membebaskan manusia dan sebaliknya menciptakan bentuk-bentuk ketidakadilan baru dan penindasan baru pula dalam ungkapan dan sarana yang berbeda. Karenanya untuk mengatasi problem sosial ini harus dicari jalan baru, sebuah jalan ketiga yang menurut Ali Syariati bisa diperankan oleh Islam.
Dalam konteks ini Ali Syariati nampaknya memimpikan lahirnya nabi-nabi baru. Nabi-nabi baru yang diperankan oleh para pemimpin spiritual atau intelektual sebagai para “pemikir bebas” yang telah memperoleh pencerahan. Menurut hemat saya, gagasan Ali Syariati ini sangat dekat dengan gagasan Gramsci yang memberi arti penting bagi keberadaan “intelektual organik”. Sebagaimana Gramsci, Ali Syariati menggambarkan nabi-nabi baru atau para “pemikir bebas” ini sebagai pemimpin spiritual atau intelektual yang mampu berbahasa selaras dengan bahasa rakyat pada zamannya, juga mampu merumuskan pemecahan-pemecahan masalah sesuai dengan suara-suara dan nilai-nilai budaya masyarakatnya. Mereka “membimbing” dan bekerja demi keadilan, serta berjuang demi pembebasan umat manusia dari ketidakadilan, penindasan, pemiskinan dan penjajahan. Inilah makna kesyahidan menurut Ali Syariati, yang harus dijalani oleh para Nabi yang dalam tradisi Syiah pernah dihadapi oleh Imam Husayn (Michael Amaladoss, 2000: 238-240).
Ali Syariati membubuhkan spirit pembebasan Islam dalam sebuah bait doa dalam Martyrdom berikut ini:
Ya Allah, Tuhan orang-orang yang terampas!
Engkau hendak merahmati
Orang-orang yang terampas di dunia ini,
Orang kebanyak yang bernasib tak berdaya
Dan kehilangan hidup,
Orang yang diperbudak sejarah,
Korban-korban penindasan
Dan penjarahan waktu,
Orang-orang celaka di atas bumi ini,
Menjadi pemimpin-pemimpin umat manusia
Dan pewaris-pewaris bumi.
Sekarang sudah tiba waktunya
Dan orang-orang terampas di atas bumi ini
Merupakan pengharapan akan janji-Mu

6. Asghar Ali Engineer dan Elemen Pembebasan dalam Qur’an

Jika Ali Syariati menggali spirit pembebasan melalui pemaknaan atas tokoh-tokoh simbolis dalam hazanah kebudayaan Islam, maka Asghar Ali Engineer, seorang ahli teologi dan aktivis HAM ini, cenderung menggunakan pendekatan tekstual untuk menggali elemen-elemen dan prinsip-prinsip pembebasan dalam Islam yang terangkum dalam penegasannya mengenai persamaan dan keadilan (Michael Amaladoss, 2000: 240-249).
Namun demikian rupanya keduanya juga memiliki kedekatan konseptual. Sebagaimana Ali Syariati, Asghar Ali juga menganggap penting peran kenabian, terutama keberadaan Nabi Muhammad SAW dalam pembaruan sosial. Nabi Muhammad bukan sekadar guru, melainkan juga seorang pejuang dan aktivis yang diutus untuk membebaskan rakyat dari kebodohan dan penindasan. Ia membebaskan rakyat Mekkah dari ketidakadilan sosial dan ekonomi serta memberikan inspirasi pengikutnya untuk membebaskan dirinya dan masyarakat lain dari penindasan oleh kerajaan Romawi dan Sassanid.
Lebih jauh secara doktriner, menurut Asghar Ali, ajaran tawhid yang disampaikan Nabi tidak hanya mengandung makna teologis tentang konsep monoteisme Tuhan, tetapi juga memuat makna sosiologis sebagai kesatuan sosial. Argumentasi ini didasarkan pada firman Allah berbunyi:
“Hai manusia, Kami telah menciptakan kamu semua dari seorang laki-laki dan perempuan, dan telah membuat kamu menjadi bangsa-bangsa dan suku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang-orang yang termulia dari antara kamu semua di mata Allah adalah orang yang paling jujur (dan adil)”
Lebih lanjut kesatuan sosial yang diajukan Qur’an ini bukan hanya bermatra rasial dan etnis, tetapi juga meliputi penghapusan ketidakadilan akibat dari perbedaan ekonomis. Argumentasi ini didasarkan pada dua kata yang digunakan dalam Qur’an yang menyatakan keadilan, yakni ‘adl dan qist. ‘Adl bermakna ganda, bisa berarti keadilan juga bisa berarti menyamakan atau meratakan. Lawannya adalah zulm yang berarti penindasan. Sedangkan qist bermakna distribusi yang sama, yang adil, yang wajar, atau pemerataan. Distribusi yang sama ini juga merujuk pada sumber-sumber daya jasmani, yang juga meliputi distribusi kekayaan sebagaimana dikukuhkan dalam Qur’an.
“Kekayaan tidak boleh hanya beredar di kalangan kamu orang-orang kaya” (Qur’an, 59: 7).
Dari ayat tersebut dimaksudkan bahwa setiap orang tidak boleh menyimpan lebih banyak dari yang perlu, apalagi ditujukan untuk hidup berlebihan, bermewah-mewah dan berpamer ria. Karena cara hidup yang demikian itu akan mengantarkan pada kehancuran.
“Dan bila kami akan menghancurkan sebuah kota, kami mengirimkan perintah kepada penghuninya yang hidup bermewah-mewah, dan kemudian mereka melakukan hal yang menjijikkan di dalamnya, dan dengan demikian dunia (terkutuk) terjadi padanya, dan kami membinasakannya sampai musnah sama sekali.” (Qur’an, 17: 16)
Selain teks-teks di atas, Qur’an juga secara eksplisit menunjukkan pembelaannya terhadap orang-orang miskin dan tertindas (kaum mustadh’afin). Berikut ini petikan ayat tersebut:
“Mengapa kamu tidak mau berjuang demi kepentingan Allah dan orang-orang lemah di tengah-tengah rakyat, dan demi kepentingan kaum perempuan dan anak-anak yang berkata: Tuhan kami, keluarkanlah kami dari kota yang orang-orangnya penindas ini” (Qur’an, 4: 75)
Juga:
“Dan kami ingin menunjukkan perkenan kepada orang-orang yang tertindas di atas bumi, dan menjadikan mereka pemimpin dan pewaris” (Qur’an, 28: 5)
Demikian sentralnya konsep keadilan ini di dalam agama Islam, Qur’an berungkali menegaskan perintah dan ajakan untuk bersikap adil dalam segala urusan ketika berhubungan dengan semua orang dengan latar belakang apapun dan dalam situasi bagaimanapun. Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman jadilah saksi-saksi teguh akan Allah dalam keadilan, dan jangan kamu biarkan kebencian akan orang-orang manapun membujuk kamu sehingga kamu tidak berbuat adil. Berbuat adillah, itu lebih dekat dengan kesalehan” (Qur’an, 5: 8)
Allah juga memberikan penegasan mengenai larangan berbuat royal dan boros yang menunjukkan hidup bermewah-mewahan:
“Perhatikan perhiasanmu di setiap tempat ibadah dan makan serta minumlah, tetapi jangan menjadi orang pemboros (peroyal)” (Qur’an, 7: 31)
Selain berbagai seruan untuk berbuat adil di atas, Islam juga mencontohkan bagaimana mempraktekkan tindakan yang adil itu dalam kehidupan. Melalui konsep zakat yang merupakan salah satu dari rukun Islam, setiap individu umat Islam diwajibkan untuk mendistribusikan kekayaannya kepada kaum miskin yang tidak bisa terlibat dalam proses-proses produksi. Allah berfirman:
“Dan dalam kekayaan mereka orang-orang yang berkekurangan dan melarat (fakir miskin) mempunyai bagian semestinya” (Qur’an, 51: 19)
Dalam bagian lain Allah berkata:
“Apakah kamu melihat orang yang mendustakan agama? Dialah yang menyingkirkan yatim piatu dan tidak mendesak orang-orang lain untuk memberikan makan orang-orang yang berkekuarangan. Celakalah orang-orang yang menjalankan shalat tapi tidak perduli dengan shalat mereka: yang pamer kesalehan tetapi tidak memberikan sedekah kepada orang-orang yang melarat” (Qur’an, 107: 1-7)
Demikianlah prinsip-prinsip dan semangat pembebasan dalam Islam yang dipantulkan melalui berbagai ayat dalam Kitab Suci Qur’an. Kenyataan itu semakin meneguhkan bahwa dalam tradisi Islam sendiri sesungguhnya memuat spirit pembebasan yang potensial menjadi suatu gerakan masif. Yakni suatu gerakan untuk melawan segala bentuk penindasan dan penjajahan yang membuat rakyat miskin dan terpinggirkan. Bahkan di bawah panji-panji keadilan dan kesamaan, teologi pembebasan dalam Islam melampaui berbagai ranah, mulai dari bersikap adil terhadap kaum perempuan sampai penghormatan dan sikap terbuka serta toleran terhadap agama-agama dan keyakinan lain yang dianut oleh umat manusia.

Hassan Hanafi dan “Kiri Islam”
Hassan Hanafi adalah seorang pemikir revolusioner, reformis tradisi intelektual Islam klasik, dan sekaligus penerus gerakan Al-Afghani. Ia menyelesaikan studi doktoralnya di Universitas Sorbonne, Paris, pada 1966, dan menjadi guru besar pada fakultas Filsafat Universitas Kairo. Ia menjadi terkenal setelah meluncurkan proyek pemikiran revolusionernya dalam sebuah jurnal Al-Yasar al-Islami: Kitabat fi Al-Nahdla Al-Islamiyah (Kiri Islam: Beberapa Esei tentang Kebangkitan Islam) yang terbit pada 1981 segera setelah kemenangan revolusi Islam di Iran. Sejak saat itulah pemikiran Hassan Hanafi akrab diidentikkan dengan “Kiri Islam” yang merupakan manifesto ideologi pembebasan dalam Islam. Seperti apakah konsep Kiri Islam itu?
Dalam sebuah artikel panjang berjudul “Madza ya’ni al-yasar al-islami” (Apakah Kiri Islam itu?) yang dimuat dalam jurnal Al-Yasar al-Islami, Hassan Hanafi menegaskan bahwa Kiri Islam adalah nama ilmiah atau istilah akademik yang menunjuk pada gagasan yang berpihak kepada orang-orang yang dikuasai, kaum tertindas, dan orang miskin. Kiri Islam adalah gerakan transformasi sosial untuk mengubah “kesadaran individual” menjadi “kesadaran kolektif” dalam rangka menyuarakan “mayoritas yang diam” di antara umat Islam, membela kepentingan seluruh umat manusia, mengambil hak-hak kaum miskin dari tangan orang-orang kaya, memperkuat orang-orang yang lemah dan menjadikan manusia sama dan setara. Salah satu elemen revolusionernya bisa ditemukan dalam Qur’an berbunyi:
“Dan Aku menhendaki kemenangan orang-orang yang tertindas di bumi, dan menjadikan mereka pemimpin-pemimpin dan pewaris-pewaris” (Qur’an, 28: 5) (Kazuo Shimogaki, 1993: 85-90).

Sebagaimana Ali Syariati, Hassan Hanafi yang memperoleh pendidikan Barat di Paris memanfaatkan hazanah filsafat dan ilmu-ilmu sosial modern untuk menganalisis kondisi sejarah dan realitas umat Islam di Arab dan di bagian dunia lain yang terpuruk dalam kemisikinan dan penjajahan. Melalui analisisnya yang tajam terhadap imperialisme Barat dan kondisi internal umat Islam inilah Hassan Hanafi akhirnya sampai pada gagasannya mengenai Kiri Islam.
Hassan Hanafi memperingatkan pembacanya akan bahaya imperialisme kultural Barat yang bisa menghapus kekayaan budaya bangsa-bangsa serta menciptakan keterbelakangan. Liberalisme dan kapitalisme yang telah bermetamorfosis menjadi imperialisme budaya (pengetahuan) dan kapitalisme multinasional ternyata didikte oleh kebudayaan Barat yang berperilaku seperti kolonial yang hanya melayani kelas-kelas elit yang menguasai aset negara. Sementara di sisi lain mayoritas rakyat tetap tertindas, miskin dan terpinggirkan dari proses-proses sejarah yang menentukan ini. Celakanya, menurut Hassan Hanafi, pengaruh eksternal tersebut memperoleh dukungannya dari kondisi internal umat Islam sendiri. Tendensi keagamaan umat Islam telah terkooptasi kekuasaan yang hanya meletakkan Islam sebagai ritus dan kepercayaan ukhrawi. Tekstualisme dalam penafsiran Kitab Suci secara dramatis telah menjauhkan umat Islam dari kondisi eksistensi realnya, berupa keterbelakangan, kemiskinan dan ketertindasan. Alih-alih bisa membebaskan dari kondisi-kondisi ini, fenomena ritualisme itu telah menjadi topeng yang menyembunyikan dominasi Barat dan kapitalisme nepotis.
Selain kedua hal di atas, bahaya lain juga datang dari Marxisme yang berpretensi mewujudkan keadilan dan menentang kolonialisme ternyata tidak diikuti dengan pembebasan rakyat dan pengembangan khazanah mereka (yakni khazanah agama-agama) sebagai energi untuk mewujudkan tujuan-tujuan kemerdekaan nasional. Sementara nasionalisme revolusioner sendiri yang tampak berhasil membuat perubahan-perubahan radikal dalam sistem politik dan ekonomi ternyata tidak berumur lama. Karena ia berhenti hanya sebatas slogan sehingga tidak mampu mempengaruhi kesadaran mayoritas rakyat (Kazuo Shimogaki, 1993: 91-92).
Akhirnya berlandaskan analisis sosial politik inilah Hassan Hanafi menganggap penting upaya untuk memperkuat jati diri umat Islam, yakni dengan memasuki medan percaturan yang paling mendasar dalam kebudayaan dan kesadaran historis masyarakat. Dan Kiri Islam ditujukan untuk kepentingan ini. Yakni membekali pribadi dan menggugah kesadaran untuk menyongsong kebangkitan rakyat melalui upaya revitalisasi pemikiran keislaman dengan memantapkan posisi rakyat dalam sejarah (Shimogaki, 1993: 140). Proyek Kiri Islam Hassan Hanafi setidaknya meliputi dua aspek penting.
Pertama, merevitalisasi dimensi revolusioner dalam khazanah intelektual Islam klasik. Kedua menantang peradaban Barat yang hegemonik.
Pada aspek pertama, Kiri Islam telah menggali paradigma independen pemikiran keagamaan yang menekankan arti penting gerakan rasionalisme, naturalisme dan kebebasan manusia. Dalam hal ini Hassan Hanafi menilai mu’tazilah telah smewariskan tradisi yang berharga mengenai kebebasan dan tanggung jawab manusia atas perbuataannya, sehingga manusia menyadari perannya untuk selalu berusaha mewujudkan kebaikan melalui perbuatannya yang disertai dengan keyakinan iman. Dalam hal ini kepemimpinan umat islam harus berdasarkan pemilihan demokratis dan amar ma’ruf nahi mungkar adalah kewajiban setiap muslim. Demikian juga sesuai dengan tanggung jawabnya, manusia dituntut teguh untuk merebut hak-haknya dan mengembalikan martabatnya yang dirampas. Kiri Islam juga juga memperhitungkan semangat kaum Syi’ah yang menancapkan harga diri Islam melawan kolonialisme dan westernisme.
Dalam kehidupan sosial dan politik, Kiri Islam menggunakan pendekatan kemaslahatan serta membela kepentingan rakyat dalam penetapan hukum. Ini dianut berdasarkan paradigma fiqh dan usul-fiqh Malikiyah yang berasal dari tradisi Abdullah ibn Mas’ud yang dikembangkan dari Umar ibn Khattab yang membela kemaslahatan umat secara realistis dan mengetahuinya meskipun belum ada petunjuk wahyu hingga datang wahyu yang membenarkan pendapatnya.
Oleh karena itulah dalam menafsirkan teks, Kiri Islam senantiasa menggunakan akal seoptimal mungkin sebagaimana yang dilakukan Hanafiyah dan memadukannya dengan cermin realitas sebagaimana Syafi’iyah, dengan tanpa meninggalkan komitmen pada teks itu sendiri sebagaimana dilakukan Hambaliyah. Ini karena bagi Kiri Islam, teks adalah refleksi atas realitas itu sendiri.
Kiri Islam memperoleh akarnya dari filsafat rasional yang sudah dibangun oleh Al-Kindi dan Ibnu Rusyd, juga pada ilmu-ilmu rasional murni dalam khazanah klasik. Kiri Islam berpretensi untuk mengangkat kembali ilmu-ilmu klasik seperti matematika, fisika, arsitektur, kimia, kedokteran, biologi, farmasi, dan sebagainya dalam pangkuan Islam. Kiri Islam juga berakar pada ilmu-ilmu kemanusiaan yang sudah diletakkan dasarnya oleh pendahulu kita, seperti ilmu bahasa, sastra, geografi, sejarah, psikologi dan sosiologi. Selain itu Kiri Islam juga memiliki akar pada ilmu-ilmu normatif tradisional murni (al-ulum al-naqliyah al-khalizhah), yakni ilmu yang pertama kali berkembang di sekitar wahyu seperti: ilmu-ilmu Qur’an, Hadist, Tafsir dan Fiqh. Beberapa cabang itu bisa dikembangkan secara kontemporer. Misalnya asbab al-nuzuli dalam ilmu-ilmu Qur’an dimaksudkan untuk mengutamakan realitas, ilmu nasikh wa al-mansukh untuk melihat aspek gradualisme dalam penerapan syariah, dan lainnya. Semua ini bisa dikembangkan menjadi ilmu eksperimental, seperti statistik, sosiologi, historiografi, ideologi, sistem politik dan ekonomi.
Kiri Islam juga mengkaji kembali ajaran tentang ibadah yang selama ini menjadi seolah-olah tujuan padahal sesungguhnya sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Menurut Hanafi, orang yang berhenti pada sarana tanpa pernah sampai tujuan maka ia sesungguhnya tak pernah shalat, puasa, haji dan syahadat. Syahadat tidak semata-mata mengucapkan “Asyhadu an-la Ilaha Illa Allah wa asyhadu anna Muhammad Rasul Allah”. Melainkan sebuah persaksian yang aktif, yang dimulai dengan bentuk negatif “la Ilaha” yang bermakna negasi atas kekuatan penindas dan tuhan-tuhan palsu di sekitar kita, baik dalam bentuk uang maupun kekuasan; lalu penetapan “Illa Allah” berarti hanya Allah yang Maha Perkasa (Kazuo Shimogaki, 1993: 95-106).
Demikianlah dengan merevitalisasi seluruh khazanah intelektual klasik ini hendak ditunjukkan bahwa kebangkitan masyarakat Islam akan datang dari dalam, yakni melalui pengembangan dimensi internal umat Islam sendiri.
Adapun aspek kedua dari proyek Kiri Islam adalah melawan hegemoni kebudayaan Barat. Dalam konteks ini tugas Kiri Islam adalah menghadapi ancaman imperialisme ekonomi korporasi multinasional dan imperialisme kebudayaan yang menggerogoti jati diri dan kemandirian umat. Tugas Kiri Islam adalah melokalisir Barat, yakni mengembalikan Barat kepada batas-batas alamiahnya dan menepis mitos bahwa Barat adalah “pusat peradaban dunia” yang berambisi menjadi “paradigma” kemajuan bagi bangsa-bangsa lain.
Dengan penolakan ini berarti bangsa-bangsa non-Barat berusaha melawan dominasi dan hegemoni yang telah merenggut kemerdekaan dan kepribadian bangsa-bangsa lain, sehingga bisa menentukan nasib dan kesejahteraannya sendiri (Kazuo Shimogaki, 1999: 106-108).
Penutup
Dari paparan di atas, maka setidaknya dapat disimpulkan dalam catatan penutup ini bahwa teologi pembebasan adalah teori ketuhanan yang berorientasi pada kemanusiaan dan pembebasan kaum tertindas baik secara kultural maupun secara struktural.
Pertama, teologi pembebasan lahir dari pembacaan yang kaya terhadap khazanah pemikiran maupun kebudayaan internal masing-masing agama atau tradisi komunitas tertentu. Dengan menyadari ini kita akan memperoleh kesimpulan bahwa sesungguhnya spirit pembebasan sudah ada dalam pengalaman dalam tiap-tiap agama dan kebudayaan, termasuk dalam agama Islam. Kedua, semangat pembebasan hanya mungkin manifes jika perumusan teologi diorientasikan pada solidaritas dan pembebasan terhadap umat manusia yang lemah. Oleh karena itu dibutuhkan kehendak, kesadaran diri, kebebasan dan tanggung jawab setiap individu untuk bersama-sama melakukan transformasi sosial menuju kehidupan yang lebih adil, setara dan manusiawi.
Inilah makna teologi pembebasan dalam masyarakat Islam. Praktek ritual adalah penting namun ia memerlukan indikator sosial. Indikator material ibadah yang diterima Tuhan adalah keberhasilannya menegakkan kebenaran dan keadilan (QS. Al Maidah; 8). Sedangkan indikator sosial ibadah yang tidak diterima adalah membiarkan ketidakadilan, kemiskinan, dan ketertindasan di sekitar kita. (QS. Al Maa’un).
Akhirnya, hadirnya teologi pembebasan dalam agama-agama sesungguhnya adalah cermin bagi diri umat beragama untuk selalu terbuka terhadap pengetahuan dan realitas alam yang diwahyukan Tuhan. Karena realitas inilah yang ikut memperkaya wawasan kita tentang iman dan cara berteologi yang relevan dengan konteks zaman. []

Bahan Bacaan:
Amaladoss, Michael, Teologi Pembebasan Asia, Penerbit Pustaka Pelajar dan Insist, Yogyakarta, 2000.
Hennelly, Alfred T., Liberation Theologies: the Global Pursuit of Justice, Twenty-Third Publication, USA, 1995
Lowy, Michel, Teologi Pembebasan, Penerbit Insist dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999
Mulkhan, Abdul Munir, Teologi Kiri: Landasan Gerakan Membela Kaum Mustadh’afin, Penerbit Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2002
Nitiprawiro, Fr. Wahono, Teologi Pembebasan: Sejarah, Metode, Praksis dan Isinya, Penerbit LKIS, Yogyakarta, 2000
Shimogaki, Kazuo, Kiri Islam Antara Modernisme dan Postmodernisme: Telaah Pemikiran Hassan Hanafi, Penerbit LKiS, Yogyakarta, 1993
Sindhunata, G.P, “Memoria Passionis: Walter Benyamin dan Teologi Politik” dalam Budi Susanto, SJ (ed.), Teologi dan Praksis Komunitas Postmodern”, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1994
[1] Dalam tulisannya berjudul Al-din wa al-tsaurah (Agama dan Pembebasan), Hassan Hanafi tidak saja mengakui bahwa Kiri Islam diilhami oleh momentum kesuksesan Revolusi Islam Iran dan mengklaim sebagai kelanjutan dari jurnal “Al-“Urwatul Wutsqa”-nya Jamaluddin Al-Afghani yang gigih melawan imperialisme Barat dan berobsesi mempersatukan umat islam. Kiri Islam juga diinspirasikan oleh revolusi agama-agama lain. Seperti revolusi yang terjadi dalam sejarah Yudaisme dan Kristiani, perlawanan Ibnu Uqaibah melawan Romawi, pemberontakan petani di Jerman abad XVI, teologi pembebasan di Amerika Latin dan revolusi “Gereja Hitam” di Amerika Utara. Selain itu juga revolusi di luar agama-agama monoteis seperti revolusi Budhis di Vietnam, revolusi Konfusionisme di Cina dan revolusi agama-agama Afrika melawan penjajah Kulit Putih di Afrika Utara.

Agama Rakyat
Dalam wacana pemikiran Islam kekinian, teologi pembebasan menjadi istilah yang cukup populer, terutama di kalangan pergerakan dan anak-anak muda. Teologi ini dalam dunia Islam digagas dan dipopulerkan oleh beberapa intelektual muslim seperti Ali Asghar Engineer dari India, Farid Essack dari Afsel, atau tokoh2 yang dapat dikatakan ‘sejalur’ dengan mereka seperti Hasan Hanafi dari Mesir dan Fatimah Mernissi dari Maroko. Tidak bisa dilewatkan juga intelektual pejuang revolusi Iran, Ali Syariati.
Teologi pembebasan secara garis besar adalah upaya untuk merubah paradigma atau pola pikir dalam memahami teologi atau konsep berketuhanan maupun ke-beragama-an dari yang selama ini dipahami bersifat abstrak dan elitis menjadi lebih konkret dan historis. Teologi bukan hanya bersifat transenden tapi juga kontekstual.
Teologi yang hanya berkutat pada wilayah metafisik, maya dan transenden, akan tercerabut dari akar sosialnya, sehingga tidak jarang menjadi alat untuk menina-bobokan masyarakat terhadap kenyataan konstruksi sosial yang menindas. Dalam kerangka ini Tauhid sebagai tonggak keimanan tidak lagi hanya dimaknai sebagai ‘satu’ Tuhan’, tetapi juga ‘satu’ umat. Kesatuan umat dalam makna2 yang sebenar-benarnya adalah umat yang berkeadilan, yang tidak dibedakan oleh suku bangsa dan ras, tidak ada kelas yang menindas dan yang ditindas, tidak ada penghisapan dari manusia terhadap manusia lainnya.
Kalimat La ilahaillallah adalah deklerasi universal penolakan terhadap semua bentuk penindasan di muka bumi. Karena penindasan bertentangan dengan nilai-nilai ketuhanan. Persaudaraan muslim atau Ukhuwah Islamiyah hanya benar-benar terjadi jika tidak ada diskriminasi dan penindasan.Bagaimana mungkin terjadi solidaritas Islam jika di antara sesama muslim masih terjadi penindasan dari kaum mustakbirin (para penindas) terhadap kaum mustadafhin (yang tertindas)? Bagaimana mungkin terjadi Ukhuwah Islamiyah bila masih ada segolongan muslim yang merampas hak-hak muslim lainnya?
Teologi pembebasan menganggap tafsiran agama bukanlah sesuatu yang bersifat netral. Karena diakui bahwa walaupun dengan sumber ajaran yang sama, namun relatifitas dari manusia itu sendiri menyebabkan terjadinya perbedaan pemaknaan dan interpretasi terhadap teks-teks agama. Sehingga agama yang dipahami akan sangat dipengaruhi oleh ‘muatan’ dari para penafsir dan semua konteks yang meliputi teks.
Demikian juga agama adalah ‘pilihan’. Teks-teks yang dipilih untuk menjelaskan realitas, erat kaitannya dengan kepentingan-kepentingan. Contoh, ada seorang pejabat negara yang sedang terlibat kasus korupsi dan diberitakan di berbagai media. Lalu dia pun mengadakan pengajian di rumahnya. Dalam pengajian sang ustad memilih teks yang menegaskan kepada hadirin tentang kewajiban setiap muslim untuk menutupi aib saudaranya.
Aneh! jelas-jelas si tuan rumah sedang terlibat kasus korupsi. Mengapa isi ceramahnya itu bukan tentang larangan agama untuk mencuri? Atau tentang pemimpin yang harus mempertanggung jawabkan amanah? Atau juga kepada kolega-kolega tuan rumah yang menghadiri acara tersebut diuraikan tentang kewajiban meyampaikan kebenaran walaupun pahit? ‘Agama’ pun ternyata bisa dijadikan alat untuk menutupi tindakan kriminal
Dalam kerangka tafsir yang tidak netral tersebut teologi pembebasan dengan tegas berpihak kepada kaum mustadhafin atau orang tertindas. Pemahaman seperti ini bukan berangkat dari sekedar keinginan untuk menampilkan ‘wajah’ Islam sebagai pembela yang lemah. Atau sekedar sebuah kecentilan intelektual yang terpesona dengan jargon-jargon heroik anti penindasan. Namun memang berakar dari ajaran Islam yang terkandung dari teks itu sendiri dan akar historis dari sejarah perjuangan para nabi terutama Muhammad. Akar-akar ajaran dari teks dan historis yang selama ini tertimbun oleh puing-puing reruntuhan peradaban manusia. Reruntuhan peradaban yang terutama akibat dari pergulatan agama dengan kekuasaan.
Sangat banyak dalil teks yang berbicara soal pembelaan terhadap kaum tertindas. Keadilan pun menjadi prinsip agama yang sangat mendasar, sampai dikatakan adil itu paling dekat dengan takwa! Muhammad berjuang melakukan pencerahan dengan mengorganisir masyarakat untuk melawan kebodohan, memerangi kemiskinan, membebaskan budak, mengangkat harkat kaum perempuan, melawan rezim-rezim yang otoriter, menegakkan keadilan dan mengecam penumpukan harta pada segelitir orang, serta memgembangkan sifat toleransi.
Dengan demikian parameter-parameter keimanan-pun tidak lagi terbatas pada ibadah ritual pribadi. Ibadah ritual pribadi itu bersifat privat, suatu hubungan khusus seorang hamba pada Tuhannya, dimana orang lain pun tidak punya otoritas untuk menjustifikasi keimanan seseorang. Tetapi parameter keimanan secara lebih luas diukur di lapangan sosial yang lebih konkret dan nyata. Karena berada di wilayah sosial yang konkret maka setiap orang pun berhak dan bisa menilainya. Parameter itu salah satunya seperti dikatakan Nabi “Tidak beriman orang yang tidur kenyang sementara tetangganya kelaparan”
Teologi pembebasan mengubah paradigma yang menempatkan simbol2 keagamaan yg sempit sebagai sebuah parameter tatanan nilai sosial. Ibadah ritual seperti sholat, zikir, puasa dan haji adalah wilayah privat, urusan seseorang dengan Tuhannya. Tidak bisa digunakan sebagai ukuran keimanan dalam lingkungan sosial. Kenapa? Karena tidak jarang para koruptor dan penindas justru memanfaatkan simbol-simbol sempit seperti penampilan, pakaian dan ibadah-ibadah ritual untuk ‘show of kesolehan’ di depan publik. Kita harus tegas katakan misalnya “Kamu naik haji itu urusanmu, tetapi korupsimu harus dipertanggung jawabkan, karena itu menyengsarakan orang lain”. Jika kita tidak melakukan itu maka agama akan tercabut dari akar sosialnya. Seseorang yang bejat dalam urusan sosial namun dalam kacamata agama (yang sempit) mendapat tempat terhormat.
Bahkan kita perlu mendekontruksi pemaknaan Rukun Islam…
Surabaya, 3 Desember 2002
February 6th, 2007Categories:
Jejak Jejak Kesalahan . Author: Aufa


Hermeneutika Gadamer - Lingkaran yang Memperluas horizonKarya : Lady P.R. Mandalika, Kategori: Pilihan Dosen
I. PendahuluanSapere Aude - Beranilah berpikir sendiri. Inilah semboyan pencerahan yang legendaris. Semboyan ini menekankan peniadaan autoritas dalam usaha pencarian kebenaran karena autoritas sebagai sumber prasangka dianggap merusak rasionalitas. Prasangka, autoritas, tradisi dianggap membelokkan kebenaran sehingga pengetahuan didesak untuk dibebaskan dari segala hal tersebut. Pengetahuan harus bebas nilai. Dalam pendekatan ini tendensi objektivitas sangat kuat sementara subjektivitas dipinggirkan.Hermeneutika Gadamer merupakan suatu kritik terhadap positivisme dengan menekankan pada subyek yang menafsirkan. Bila melihat pengertian etimologinya, hermeneutik berasal dari kata kerja Yunani hermeneuo yang artinya mengungkapkan pikiran seseorang dalam kata-kata, menerjemahkan atau menafsirkan. Kata kerja ini terkait dengan nama tokoh mitologi Yunani yaitu Hermes yang bertugas menafsirkan kehendak dewata. Pertanyaan yang menarik apakah hermeneutik merupakan sebuah metode untuk memperoleh kebenaran yang setepat-tepatnya tentang realitas/teks ?Pertanyaan di atas bagi saya adalah pertanyaan awal yang menarik terkait dengan problematik positivistik yang menekankan objektivitas dan mengabaikan subjektivitas. Terlebih lagi bila kita hendak memahami realitas sosial. Apakah pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dalam upaya memahami realitas sosial dapat dijawab dengan fakta-fakta objektif yang murni ? Bukankah realitas sosial begitu kompleks dan memahaminya lewat fakta-fakta murni hanya akan menyederhanakannya ? Oleh karena itulah saya tertarik untuk mengkaji lebih lanjut pendekatan hermeneutik dari Gadamer. Bagaimana prinsip hermeneutika Gadamer dan apa relevansinya bagi ilmu pengetahuan di Indonesia merupakan pertanyaan yang akan menjadi fokus dari tulisan ini.

II. Hermeneutika GadamerProyek pencerahan berusaha meniadakan prasangka dimana kita diminta untuk mengesampingkan asumsi dan bias pikiran kita lalu melihat pertanyaan dan text secara baru. Semua penafsiran yang benar harus dilindungi dari khayalan-khayalan arbitrer dan pembatasan-pembatasan yang ditekankan oleh kebiasaan-kebiasaan pemikiran yang tidak bisa dipahami dan mengarahkan pandangannya terhadap sesuatu itu sendiri. Namun apakah kita benar-benar dapat melepaskan diri dari subjektivitas ? Apakah kita dapat benar-benar bebas nilai ? Apakah kita benar-benar dapat berpikir secara baru tanpa titik tolak sama sekali ? Apakah kita dapat memberi makna pada realitas/teks tanpa dibentuk oleh kesadaran kita ? Bila demikian bukankah kita hanya akan menyalin fakta dari teks atau realitas tersebut ? Gadamer melihat hal itu mustahil untuk dilakukan oleh karena pikiran kita dibentuk oleh sejarah. Ia mengkritik pendapat seperti itu sebagai prasangka melawan prasangka. Dalam hal ini ia melihat model yang anti terhadap prasangka ini dimungkinkan oleh suatu prasangka (bahwa prasangka harus diatasi). Gadamer mengacu pada konsep wirkungsgeschichte (sejarah efektif) yaitu kenyataan bahwa pengetahuan memiliki efek dalam sejarah sebab seorang peneliti kritis adalah juga seorang aktor sejarah yang menjadi bagian dalam kesinambungan proses sejarah dalam tradisinya. Dalam hal inilah ia menyinggung tentang kesadaran sejarah. Mempunyai kesadaran sejarah adalah menjelajah dengan sikap tertentu kenaifan alam yang membuat kita menilai masa lalu dengan apa yang sering disebut skala prioritas tentang masa kini, dalam perspektif institusi kita dan dari keyakinan nilai-nilai dan kebenaran kita.Dalam mempertanyakan bagaimana memberi makna, Gadamer berkonfrontasi dengan pendahulunya yaitu Scheleirmacher dan Dilthey. Ia mengkritisi pendapat Schleiermacher yang menyatakan bahwa keasingan suatu teks bagi pembaca perlu diatasi dengan mencoba mengerti si pengarang, merekonstruksi zaman si pengarang dan menampilkan kembali keadaan dimana pengarang berada pada saat menulis teksnya. Menurut Gadamer, tujuan dari membaca sebuah teks adalah untuk mempelajari mengenai subyek dalam teks. Ia memberi contoh bila ia membaca biografi tentang seseorang yang bernama James Joyce yang ditulis oleh Richard Ellmann, maka ia hendak mempelajari tentang James Joyce dan bukan tentang proses mental dari Richard Ellmann. Ia juga mengkritisi pendapat Dilthey yang melihat hermeneutik sebagai metode untuk mengerti teks secara benar dalam konteks sejarahnya. Dilthey berusaha merekonstruksi makna sebuah teks menurut maksud pengarang dalam konteksnya. Menurut Dilthey, hermeneutik adalah menyusun kembali kerangka yang dibuat oleh sejarawan agar peristiwa sebenarnya dari kejadian itu dapat diketahui. Gadamer melihat bagaimana upaya Dilthey sebenarnya sia-sia karena kita tetap tidak mungkin meniadakan prasangka dan berusaha merepoduksi makna sebagaimana yang dihayati oleh si pengarang.Disini saya melihat bagaimana Dilthey berusaha untuk menemukan arti asli dari teks lalu menampilkan kembali makna yang dimaksudkan oleh si pengarang. Apa yang dilakukannya adalah sebatas reproduksi makna. Dalam hal ini Dilthey masih terpengaruh dengan objektivisme zaman pencerahan yang berusaha meniadakan prasangka dengan hanya berfokus pada makna seutuhnya dari si pengarang. Bila makna suatu teks hanya terbatas pada makna di zaman pengarang teks, maka pertanyaan yang perlu diajukan lebih lanjut menurut saya adalah bagaimana dengan teks yang dihasilkan oleh si penafsir atau sejarawan tersebut tentang hasil penafsirannya ? Bila teks tersebut hanya merupakan pemaparan makna seutuhnya dari pengarang menurut zamannya, bagaimana kita menafsirkan atau memahami teks dari si penafsir atau sejarawan ? Bukankah tafsiran itu ia hasilkan dalam konteks zamannya yang memiliki kekhasannya sendiri ? Bila penafsiran hanya mereproduksi makna si pengarang dalam zamannya, menurut saya itu berarti teks menutup diri atau mungkin penafsiran yang kita lakukan telah membatasi teks itu berbicara bagi kita di konteks masa kini. Dalam hal ini menurut saya, suatu teks sebenarnya tidak hanya terbatas pada zamannya, tapi juga terbuka berbicara bagi masa kini. Namun menurut saya apa yang diungkapkan Dilthey mengenai historisitas suatu teks juga baik untuk diperhatikan. Teks berasal dari konteks tertentu dan oleh karena itu baik juga kita mengerti konteksnya. Hanya saja teks tidak akan berarti apa-apa tanpa dikomunikasikan dengan konteks masa kini.Berkaitan dengan hal itu, penting bagi kita untuk mengerti apa yang ditekankan Gadamer mengenai horizon. Ia menekankan bahwa seseorang memahami menurut horizon sejarah tertentu. Horizon yang dimaksudkan Gadamer adalah bentangan visi yang meliputi segala sesuatu yang bisa dilihat dari sebuah titik tolak khusus. Kita selalu berada pada titik tertentu dan dimana kita berada selalu mempengaruhi apa yang kita lihat. Dengan demikian yang perlu dilakukan adalah memperluas horizon kita seluas-luasnya serta terbuka terhadap horizon baru.Menurut saya pendapat Gadamer tentang memperluas cakrawala pemahaman sangat penting. Proses memperluas cakrawala pemahaman dalam lingkaran hermeneutis ini tidak pernah berhenti untuk menghasilkan sebuah kebenaran objektif. Proses ini akan terus berlanjut, mengembangkan dan memperluas horizon, wawasan kita. Ketika kita berhadapan dengan orang lain cakrawala wawasan kita akan diperluas melalui interaksi dan dialog. Dengan demikian kita tidak hanya melihat atau memahami sesuatu berdasarkan satu perspektif saja yaitu perspektif kita sendiri namun kita mencoba terbuka untuk mengembangkan wawasan kita melalui dialog. Kita berdialog dengan orang lain bukan untuk memperoleh kebenaran setepat-tepatnya tetapi untuk memahaminya. Dalam upaya memaknai tradisi masa lalu, kita akan memahami dengan wawasan kekinian. Di sini jarak dengan masa lalu tidak diatasi dengan hanya mengkonstruksi kembali makna di masa lalu tetapi memahaminya dengan horizon kekinian. Dalam dialog tersebut terjadi perbenturan antara cakrawala pemikiran kita dengan orang lain. Dalam dialog ini tentunya kita juga membawa prasangka kita, namun kadangkala prasangka-prasangka kita harus disimpan untuk mencoba melihat pandangan orang lain. Pandangan orang lain ini dilihat bukan untuk dinilai sebagai hal yang buruk namun agar kita dapat memahaminya. Bagaimana dengan prasangka dan tradisi kita ? Bisa saja prasangka dan tradisi kita menjadi dominan dan kita anggap sebagai kebenaran. Dalam hal inilah kita perlu tetap untuk bersikap kritis terhadap prasangka dan tradisi. Kita perlu melihat apakah prasangka kita mengarahkan kita untuk dapat mengerti ataukah prasangka itu menyembunyikan kita dari pengertian ?Di sini menurut saya kita juga perlu mengingat bahwa prasangka kita kadangkala tidak benar. Untuk itu yang terpenting adalah kita perlu terus memperluas horizon kita melalui dialog. Mengapa ? Hal ini berkaitan dengan konteks hidup kita yang dinamis dan kompleks. Pikiran kita dibentuk oleh konteks, tradisi yang selalu berkembang dan sedemikian kompleksnya sehingga makna yang kita berikan adalah sesuatu yang berkembang. Apa yang kita alami dalam hidup kita, apa yang kita lakukan dalam hidup tentunya akan mempengaruhi makna yang kita berikan terhadap sesuatu. Makna yang kita berikan bukanlah kebenaran yang setepat-tepatnya tetapi makna sesuai pengalaman, pembentukkan kita.Terkait dengan hal ini saya mengingat pengalaman PA lintas budaya bersama dengan teman-teman di Makassar. Dalam kegiatan tersebut kami membaca satu teks Yohanes 4 : 1 - 42 secara bersama dan menafsirkannya. Kelompok PA di Makassar itu terdiri dari mahasiswa yang mempunyai latar belakang budaya dan konteks hidup yang berbeda. Dialog diantara kami menghasilkan berbagai makna. Beberapa diantara kami berfokus pada moralitas perempuan Samaria dalam teks tersebut, yang lain lebih berfokus pada pluralitas agama dan etnis. Hasil percakapan kami ini ditukar dengan penafsiran sebuah kelompok jemaat di Warmond, Belanda yang juga membaca teks Yohanes 4 : 1-42. Apakah kelompok PA di Warmond menyoroti hal yang sama ? Ternyata tidak. Kelompok Warmond lebih berfokus pada eksklusivitas dalam teks Yohanes itu sendiri : dalam Yohanes dikatakan bahwa Yesus adalah mesias dan bahwa keselamatan hanya ada di dalam Dia. Kelompok Warmond mengidentifikasi konflik antara orang Yahudi dan Samaria dengan konflik di Timur Tengah antara Yahudi dan Palestina. Isu tentang pluralitas agama dan etnis (pekerja imigran, pengungsi) tidak menjadi isu yang disoroti oleh kelompok ini ketika membaca teks Yohanes 4. Bagaimana kita memahami perbedaan penafsiran ini ? Teks yang dibaca adalah teks yang sama namun penafsiran yang dihasilkan dari teks tersebut begitu beragam. Apakah dari keragaman penafsiran itu kita harus menentukan dan mengambil satu makna yang benar objektif ? Apakah penafsiran yang benar adalah penafsiran yang menggunakan pendekatan yang ilmiah dan objektif ? Menurut saya tidak demikian. Keragaman penafsiran itu, menurut saya, memperlihatkan bagaimana konteks budaya dan pengalaman mempengaruhi penafsiran serta pemikiran kami. Keragaman pengalaman dan konteks budaya yang kemudian menghasilkan perbedaan penafsiran tidak seharusnya diatasi hanya dengan sebuah pendekatan yang objektif untuk memperoleh makna yang setepat-tepatnya. Pikiran kami dan mereka dibentuk dengan konteks dan pengalaman yang berbeda. Dalam hal ini saya setuju dengan pendapat Gadamer.Hal yang menarik menurut saya adalah bagaimana pengetahuan kita dibentuk oleh konteks, dengan demikian sebenarnya konteks sangatlah penting untuk memahami makna. Apakah kemudian makna adalah sesuatu yang terus berubah-rubah ? dalam hal ini berubah atau tidak berubahnya makna terkait dengan konteks. Oleh karena itulah kita akan terus menerus dalam proses pemikiran yang tidak mengenal titik akhir . Menurut Gadamer kita tidak dapat melepaskan diri dari prasangka kita. Ketika kita hendak memberi makna pada sesuatu, apa yang kita pikirkan tentu terkait dengan pengalaman, tradisi dan konteks hidup kita. Dengan demikian pikiran kita sebenarnya tidak bebas nilai. Di samping uraian di atas, saya pikir kita juga perlu kritis untuk melihat bahwa Gadamer kurang menekankan bagaimana sebenarnya prasangka dan tradisi tersebut seharusnya tidak melampaui teks atau realitas yang berusaha dipahami. Kedua-duanya (prasangka/tradisi - teks/realitas) perlu diletakkan dalam posisi yang sejajar dalam proses dialog .

III. Belajar dari Hermeneutika Gadamer
Menurut saya hermeneutik Gadamer cukup relevan bagi ilmu pengetahuan dalam konteks Indonesia. Dalam hal ini saya pikir sangatlah penting bagi kita untuk belajar dari Gadamer tentang bagaimana memperluas horizon, wawasan pemikiran kita lewat dialog. Terkait dengan teologi Kristen, saya melihat bahwa teologi Kristen sebenarnya tidak berangkat dari satu titik saja yaitu Alkitab tetapi teologi kristen perlu berdialog dengan kenyataan yang ada dalam konteks di Indonesia. Perlu disadari bagaimana teologi seharusnya berakar juga dalam konteks Indonesia. Teologi perlu keluar dari benteng-benteng gereja dan berusaha memahami dengan baik kenyataan sosial di masyarakat. Bila teologi hanya terkukung dalam tembok-tembok gereja maka teologi yang mengasingkan diri seperti ini tidak menjadi kabar baik/kesaksian dalam konteksnya. Teologi seperti itu cenderung menjadi teologi yang tidak membumi. Dalam hal ini, bukan jawaban dogmatis yang diharapkan dari teologi seolah-olah teologi mengetahui semua jawaban secara tepat dan menjawab dengan pendekatan top-down dalam rangka memberi atau melakukan. Namun yang perlu dilakukan adalah berdialog dengan masyarakat, peka mendengar jeritan pergumulan mereka dan berusaha memahami pergumulan mereka, lalu merencanakan dan mengerjakan bersama masyarakat. Dengan demikian teologi dibentuk oleh konteks nyata dan bukan terpisah dari kenyataan hidup masyarakat. Ini berarti teologi Kristen perlu berdialog dengan agama-agama lain, teologi perlu berdialog dengan tradisi kepercayaan dalam masyarakat, teologi perlu berdialog dengan tradisi dalam kepelbagaian budaya masyarakat Indonesia, teologi perlu berdialog dengan masyarakat yang saat ini berada dalam perubahan sosial yang serba cepat.Dalam konteks pluralisme agama di masyarakat Indonesia, kita perlu berdialog dengan saudara-saudara kita yang berbeda agama. Kita harus berani membongkar batasan-batasan yang memisahkan kita. Seringkali kita mengeluhkan status kristen yang minoritas dan dipinggirkan dalam masyarakat Indonesia. Menurut saya pemikiran seperti ini hanya akan mengasingkan kita dari sesama kita. Apakah perbedaan agama hanya dinilai secara sempit berdasarkan mayoritas dan minoritas ? Oleh karena terjebak dalam pemikiran minoritas, kita tidak berani keluar dari tembok-tembok gereja kita. Akhirnya kita hanya terkukung dalam batasan pemikiran kita saja. Batasan pemikiran yang sempit dan kita menilai segala sesuatu dari pemikiran kita yang sempit itu. Dalam hal ini, menurut saya di sinilah pentingnya kita belajar dari Gadamer tentang perlunya memperluas fusi-fusi horizon, wawasan pemikiran kita melalui dialog dengan orang lain. Apakah tujuan kita berdialog dengan sesama kita ? Apakah untuk melihat siapa yang benar atau salah ? Apakah untuk meyakinkan bahwa kita benar dan kemudian menepuk dada ? Apakah untuk meyakinkan orang lain bahwa kebenaran ada pada kita agar orang lain mengikuti kita atau dalam arti menginjili orang lain ? Dialog kita bertujuan agar kita dapat memahami sesama kita. Dalam hal ini kita perlu rendah hati mengakui bahwa pengetahuan kita terbatas dan oleh karena itu kita perlu berdialog, terbuka pada mereka agar kita memperluas wawasan pikiran kita. Bagaimana dengan kebenaran yang kita yakini ? apakah agar kita dapat berdialog dengan baik kita perlu menyimpan keyakinan kita dan memilih untuk bersikap low profile : kita semua sama, kita semua inklusif, semua agama sama saja benarnya….menekankan persamaan dan menomorduakan perbedaan ( seolah-olah identitas harus dipinggirkan, perbedaan disembunyikan). Menurut saya dalam dialog tidak berarti kita menyembunyikan perbedaan untuk mencari kesamaan universal. Kita bertemu dengan orang lain bukan tanpa pemahaman sama sekali. Dalam situasi seperti itu kita menyadari bahwa cara pandang kita bukanlah satu-satunya cara. Dengan melihat adanya sudut pandang lain atau pemahaman lain, maka kita akan melihat dengan jelas cara pandang atau pemahaman kita sendiri. Dialog yang kita perlukan adalah dialog untuk mengerti sesama kita dan saling belajar dari pandangan masing-masing. Dalam melihat pro dan kontra mengenai syariat Islam misalnya. Bila kita hanya berpikir dalam horizon tertentu saja dan enggan untuk keluar berdialog dengan sesama kita yang lebih memahami syariat Islam, maka mungkin kita akan tenggelam dalam ketakutan kita sendiri dan menilai dengan tegas syariat Islam itu negatif. Mungkin saja kita tidak setuju dengan padangan-pandangan yang menerapkan syariat Islam dalam Perda-perda. Namun bila kita menolak dan tidak setuju terhadap penerapan itu seharusnya kita berusaha untuk mengerti persoalan yang ada di balik penerapan syariat Islam tersebut. Bagaimana kita dapat sungguh-sungguh memahami persoalan tersebut ? Salah satu jalan yang ditawarkan oleh Gadamer adalah melalui dialog. Melalui dialog kita akan mencapai pemahaman. Apakah lantas ini berarti kita berhenti pada upaya memahami saja ? Menurut saya tidak demikian, kita perlu melawan tetapi melawan bukan dalam arti Kristen melawan syariat Islam tetapi kita melawan hal-hal yang menimbulkan ketidakadilan bagi siapapun dari penerapan syariat Islam dalam Perda tersebut. Namun sekali lagi tentunya dengan pemahaman yang baik yang kita peroleh lewat dialog.
Dari pendekatan Gadamer, kita diingatkan bagaimana dalam penafsiran konteks pembaca pun perlu mendapat perhatian. Menurut saya hal ini cukup penting mengingat universalitas dan objektivitas ilmu tafsir Alkitab yang kita kenal selama ini yang menekankan bahwa teks sudah mempunyai konteksnya sendiri. Oleh karena itu penafsiran hanya berangkat dari konteks masa lalu dan bila konteks masa lalu itu tidak jelas yang dilakukan kemudian adalah merekonstruksi kembali masa lalu itu. Dalam pendekatan ini tampaknya ada tendensi yang kuat bahwa dari bangunan rekonstruksi masa lalu tersebut kita akan memperoleh makna yang asli. Namun dari Gadamer kita diingatkan bahwa ketika kita berhadapan dengan teks, kita tidak mungkin melepaskan diri dari prasangka yang dibentuk dalam konteks, sejarah hidup kita. Oleh karena itu apa yang kita perlukan adalah mengakui ruang bagi partisipasi pembaca dalam memaknai teks ketika ia membaca teks. Dalam proses membaca itu akan terjadi dialog antara pembaca dengan konteks kekiniannya dan teks dengan konteksnya yang khas. Di sini makna tidak tergantung dari teks semata, tetapi makna muncul dari dialog antara teks dan si pembaca. Contohnya ketika saya membaca cerita tentang Tamar dalam kejadian 28. Saya dapat menafsirkannya oleh karena saya sudah mempunyai ide bagaimana teks itu berbicara kepada saya dalam konteks saya. Namun itu tidak berarti saya hanya melihat pikiran saya sendiri. Di sinilah terletak pentingnya kesadaran akan prasangka yang sebelumnya saya telah miliki. Kesadaran tersebut saya dialogkan dengan apa yang dikatakan teks dan mungkin saja kemudian saya menghasilkan lima kemungkinan pemahaman baru dari dialog tersebut. Hal yang penting ditekankan di sini adalah bahwa peranan sudut pandang si penafsir diakui dalam proses penafsiran teks tersebut. Namun menurut saya tetap harus juga diperhatikan agar teks itu juga dapat berbicara secara terbuka dari konteksnya. Dialog tidak akan tercapai bila teks berada pada posisi seperti tahanan dalam penjara dan kita adalah penjaganya. Dalam arti penafsir datang dengan sejumlah pertanyaan yang diajukan sementara teks hanya dapat merespon/menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diungkapkan oleh penafsir. Bila demikian yang terjadi, tidakkah kita mengaburkan makna teks ? Dalam hal ini saya melihat bagaimana seorang penafsir perlu untuk menjadi lebih sensitif.


0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda