anak bangsa berbagi cerita

Blog ini adalah blog bagi kita yang ingin berbagi cerita....khusus blog ini tidak menerima cerita yang bernuansa pornografi...ini blog yg khusus menceritakan kehidupan kita sehari-hari...

Sabtu, 08 Maret 2008

Cerita Kita tentang krisis Pangan : KRISIS PANGAN DAN TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH

KRISIS PANGAN DAN TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH
Oleh : Ferry Widodo☼☻☺
Memasuki tahun 2008 keadaan situasi masyarakat semakin lama semakin terhimpit. Isu krisis pangan dunia (Global Food Crisis) menjadi cukup hangat beberapa bulan terakhir. Hal ini mengingat bahwa FAO sebagai organisasi pangan dunia pernah merilis dan menyebutkan, jumlah orang yang lapar di dunia, termasuk Indonesia, nyaris tidak bergeser jauh dari angka 10 tahun lalu. Menurut laporan Task Force on Hunger (2006), lebih separuh dari penduduk yang mengalami kelaparan (food entitlemens) dan kurang gizi berasal dari keluarga petani miskin yang terputus aksesnya atas sumber-sumber pangan, baik akibat bencana alam atau pun manajemen ketahanan dan distribusi atas komoditi/produk pangan yang kacau. Tak hanya Indonesia, ancaman krisis pangan juga mengintai negeri lainnya. Masih menurut versi FAO, kebutuhan pangan dunia pada 2007-2008 diperkirakan meningkat 2.103 juta ton atau naik hampir 2 persen dibandingkan periode sebelumnya. Sementara stok pangan dunia yang diperhitungkan hingga akhir musim tanam 2008 justru akan turun sekitar 420 juta ton atau nyaris 2 persen dari stok sebelumnya. FAO memprediksi bahwa perdagangan sereal dunia mencapai 252 juta ton atau turun 1 persen dibandingkan periode 2006-2007.1 Harga internasional komoditas ini akan tetap tinggi dan diprediksi terus meningkat karena suplai yang ketat. Hal ini belum lagi ditambah dengan data yang dikeluarkan seluruhnya ada 37 negara yang akan terkena dampak krisis pangan, dengan jumlah terbesar di Afrika (20 negara), disusul Asia (9), Amerika Latin (6) dan Eropa Timur (2) dan akan di kwatirkan bahwa krisis pangan di beberapa negara telah dan akan memicu krisis sosial diberbagai level masyarakat.2


Sebelum kita mengulas lebih jauh dampak krisis pangan, ada baiknya kita telusuri dahulu penyebab krisis pangan yang melanda dunia saat ini. Kenaikan harga minyak dunia selalu menjadi determinan atas krisis pangan yang melanda dunia saat ini, biang keladinya adalah lonjakan tajam harga minyak bumi. Harga minyak yang menggila, mendekati angka US$105 per barrel, mendorong kenaikan harga sarana produksi dan ongkos angkut. Hal ini ditambah dengan produksi minyak bumi dan gas tak bisa mengikuti kenaikan permintaan, dan akhirnya harga energi juga naik tajam. Tragisnya, negara-negara maju memutuskan untuk mengalihkan pemakaian energi berbahan bakar fosil ke bio-fuel. Minyak sawit dipakai untuk bio diesel. Jagung, tebu dan singkong digunakan untuk bio ethanol. Hal ini menyebabkan produksi beras sebagai komoditi utama pangan akan semakin sempit ruang produksinya. Pengalihan atas produksi ini menjadi dorongan utama kenaikan beberapa kebutuhan pokok terutama beras. Proses pengalihan produksi ini sebenarnya mulai timbul pada periode tahun 2005 yang lalu pada saat beberapa Negara produksi pangan yang berbasis biji-bijian seperti AS, China, Brasil Australia dan Negara-negara lainnya mengubah struktur konsumen komoditas pangan secara besar-besaran. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi atas kenaikan harga minyak dunia dari hasil pertambangan minyak yang berbasis fosil.3 Dan lagi-lagi perubahan Negara-negara didunia sangat lambat diantisipasi oleh negeri ini. Sebenarnya reaksi pemerintah atas isu krisis pangan dunia ini baru muncul pada Juni 2007 ketika OECD (Organisasi Kerja Sama Ekonomi Pembangunan) dan FAO merilis dan mengembuskan isu akan adanya kenaikan harga pangan dunia.


Sekarang sekitar 6,3 miliar penduduk dunia akan dihadapkan pada tantangan global yaitu krisis pangan, tetapi, sebenarnya isu krisis pangan telah mampu dibaca indikasinya oleh beberapa Negara-negara didunia dan indikasi atas krisis pangan dunia inilah yang kemudian menjadi dorongan beberapa Negara untuk meningkatkan cadangan pangan mereka terutama beras. Coba kita bandingkan dengan cadangan beras pemerintah China yang mencapai 34 juta ton, India (7 juta ton), Thailand (2 juta ton), Korea Selatan (1,1 juta ton), Vietnam (1 juta ton), Jepang (1 juta ton), dan Filipina (0,75 ton). Sedangkan pemerintah saat ini hanya memiliki 350.000 ton stok beras yang terdapat digudang-gudang Bulog. Cadangan itu jelas terlalu kecil dan sangat sulit dijadikan jaminan bagi stabilisasi harga beras. Walaupun pemerintah telah melakukan intervensi pasar guna menstabilkan kenaikan harga beras dan kebutuhan pokok lainnya, toh kenaikan itu tetap tidak mampu ditanggulangi oleh pemerintah. Pertanyaan kemudian bahwa kebijakan pemerintah apa yang dapat menjawab krisis pangan yang akan dan sudah melanda negeri ini ?????..............


Dampak Krisis Pangan Di Negeri Ini
” Pada rakyat kami minta pengertian. Kami bertanggung jawab mencarikan solusi. Kami secara serius mengelola permasalahan harga pangan akibat gejolak ekonomi dunia. Kami yakin ada solusi stabilkan harga pangan tersebut. “ SBY menegaskan seusai memimpin rapat kabinet terbatas di Kantor Departemen Keuangan, Jakarta (Detik, 21.02.08). Kutipan pidato Presiden ini kembali menunjukan bahwa pemerintah belum siap dan bahkan tidak siap dalam mengantisipasi krisis pangan yang melanda negeri ini, terlepas dari rasa pengertian yang kita berikan kepada pemerintah, dampak sosial yang sudah sangat terasa atas krisis pangan ini adalah kenaikannya harga-harga sembako dibeberapa pasar tradisional di beberapa daerah di Indonesia. Kenaikan ini sudah barang tentu sangat memukul masyarakat kecil, misalnya saja kenaikan harga minyak goreng yang mencapai Rp 15500/kilo-yang normalnya sekitar Rp 9000/kilo-di Tegal, merupakan gambaran kecil dari kenaikan beruntun beberapa kebutuhan pokok akhir-akhir ini. Tercatat dibulan ini saja setidaknya tiga jenis pangan mengalami kenaikan secara beruntun, mulai dari beras, kedele, sampai minyak goreng. Bulan ini dilalui bagai mimpi buruk oleh ibu rumah tangga yang kantongnya semakin kempis. Mimpi buruk terutama dialami oleh rakyat jelata yang paling miskin.


Fenomena gizi buruk dan busung lapar mungkin yang paling mengkwatirkan yang pasti akan terjadi di negeri ini. Data menunjukan bahwa sepanjang Januari-Desember 2007 tercatat ada 1234 kasus gizi buruk dan busung lapar yang terjadi dibeberapa daerah di Indonesia.


Sementara, menurut data Badan Pusat Statistik pada tahun 2006, bahwa lebih dari sepertiga populasi anak-anak yang berusia balita mengalami kekurangan makan, gizi, dan nutrisi akut. Situasi ini amat memprihatinkan mengingat usia balita adalah masa penting bagi proses tumbuh-kembang anak. Bagi balita, makanan yang bergizi adalah kebutuhan mutlak. Jika tidak, ke depan negeri ini akan menghadapi problem the lost generation. Dan dari indeks harapan hidup manusia, angka risiko kematian paling tinggi di Indonesia ada pada kelompok usia balita. Dari 1000 kelahiran hidup, 35 bayi mati tiap harinya. Sementara angka kematian ibu yang melahirkan hingga kini juga masih tinggi, yakni sekitar 307 orang untuk tiap 100.000 kelahiran hidup (BPS, 2002). Berdasarkan kajian Institute for Ecosoc Rights (2006), masalah kurang gizi, gizi buruk, dan busung lapar yang mengemuka di Indonesia sejak pertengahan 2004 lalu, jumlah angka resminya sebenarnya jauh di bawah fakta sesungguhnya. Meski masalah gizi buruk dan busung lapar sudah sedemikian struktural dan laten sifatnya, di mana 72 persen kabupaten/kota di Indonesia tercatat mengidap kasus gizi buruk tiap tahunnya, namun pola penanganannya hingga kini masih bersifat darurat, karitatif, dan sporadis.5


Menuntut Tanggung Jawab Pemerintah
Kenaikan harga kedelai pada waktu awal Januari 2008 yang menjadi Rp7.500 per kg, dengan cepat direspon oleh pemerintah. Hingga tepatnya pada tanggal 15 Januari lalu Presiden SBY langsung menggelar Sidang Kabinet Terbatas mencari solusi atas krisis kedelai. Dalam Rakor (Rapat Kordinasi) terbatas yang dipimpin langsung oleh Presiden SBY di gedung Departemen Pertanian, presiden menyatakan tiga isu utama sekaligus sebagai kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah. Tiga isu yang penting dalam menanggulangi krisis kedelai, yaitu ketahanan pangan, stabilitas harga pangan dan kesejahteraan petani. Dalam hal ini isu utama yang di keluarkan presiden, mungkin oleh sebagian kalangan masyarakat dapat dikatakan baik dan mempunyai visi ntuk mensejahterakan petani, tetapi bila kita kaji lebih mendalam kebijakan yang diambil oleh pemerintah merupakan kamuflase pemerintah dalam menutupi situasi yang sebenarnya terjadi.


Isu ketahanan pangan yang kemudian dihembuskan oleh pemerintah merupakan suatu hal sedikit mustahil apabila pemerintah hanya mengandalkan tingkat produksi pertanian dalam negeri tanpa melakukan proteksi atas produksi pertanian. Artinya kalau kita selama ini masih mengandalkan produk pangan impor maka hal ini mungkin cukup sulit untuk dilakukan dalam lima sampai sepuluh tahun mendatang, mengingat bahwa isu krisis pangan dunia ini diperkirakan akan tetap berlangsung selama 5-10 tahun kedepan dan akhirnya setiap Negara yang yang memiliki kelebihan pasokan pangan saat ini pun, akan sangat memprioritaskan pemenuhan kebutuhan domestiknya dalam jangka dekat serta menambah pasokan pangan digudang-gudang mereka untuk jangka waktu beberapa tahun kedepan. Disinilah tugas pemerintah dalam memberikan proteksi bagi produksi pertanian. Asumsi proteksi bukan hanya memberikan kebijakan yang ketat bagi semua produk impor pertanian tetapi juga memberikan jaminan sosial bagi petani dalam berproduksi pertanian. Kedua adalah pemerintah berani dalam melakukan Reforma Agraria, sebagai fondasi pertanian dalam penyediaan pangan juga sebagai penggerak utama pembangunan khususnya perekonomian perdesaan yang mampu mengentaskan kemiskinan di wilayah pedesaan.6.


Yang pasti harus pemerintah lakukan adalah, mengkaji/mengoreksi ulang kebijakan-kebijakan pemerintah dalam perundingan bilateral dan multilateral yang selama ini lebih menguntungkan kaum kapitalis dan negara-negara yang secara politik dan ekonomi sangat kuat. Selama ini, keberdaulatan kita atas pangan, amat diragukan. Misalnya, untuk menentukan bibit yang dipakai saja pun pemerintah harus tunduk pada kebijakan negara lain. Gambaran paling nyata bahwa, hingga saat ini, untuk memenuhi kebutuhan akan kacang kedelai, kita harus mengimport sebesar 70 persen dari total kebutuhan. Dengan demikian, kebutuhan kacang kedelai kita mau tidak mau harus bergantung pada negara lain.7


Melihat perkembangan situasi sosial yang semakin akut ini bahwa sudah saatnya kita menuntut pertanggung jawaban dari pemerintah, hal ini mengingat sejak empat tahun terakhir, bahwa peran pemerintah dalam menangani situasi rawan pangan nasional tak kunjung teratasi oleh pemerintah.8 Inilah situasi yang sangat nyata terjadi di tanah air dan tampaknya belum dimaknai oleh pemerintah sebagai urusan serius bangsa. Secara normatif, hidup sejahtera dan bebas dari kemiskinan adalah impian setiap warga negara. Namun, bagi rakyat Indonesia, agaknya semua itu masih sebuah mimpi yang sulit terwujud.


☼☻☺ Sekjend FPPI Pimpinan Kota Yogyakarta
1 Menyoal Hak Gizi & Pangan Rakyat oleh Launa; http://www.waspada.co.id
2 Pembacaan Situasi Nasional FPPI Pimpinan Kota Yogyakarta Oleh Ferry Widodo Tertanggal 26 Januari 2007.
3 Kompas Edisi 30 januari 2008.
4 Laporan Akhir Tahun 2007 IHCS ; “Negara Lepas Tangan: Pelimpahan Kewajiban Negara Atas Pemenuhan Hak- hak Dasar Rakyat kepada Korporasi/Modal”, untuk lebih lengkapnya lihat di laporan Akhir Tahun IHCS.
5 Launa; loc. cit.
6 Ibid.
7Gejala Krisis PanganTajuk Rencana http:// Republika.on-line/
8 op.cit

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda